Setiap penyakit pasti
ada obatnya. Jargon motivasi yang sering menggema di telinga. Penyakit dalam
pengertian kamus besar indonesia adalah sesuatu yang menyebabkan terjadinya
gangguan pada makluk hidup, atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh
bakteri, virus, kelainan sistem atau jaringan pada organ tubuh.
Penyakit menular, dalam
bahasa ilmiah disebut epidemic. Epidemic berjasa besar dalam progresifitas ilmu
kesehatan. Tanpa hadirnya epidemic, ilmu kedokteran tentu tidak berkembang.
Jika ditelusuri lebih dalam, epidemic bisa disebabkan oleh kehadiran virus. Tak
salah kalau virus menjadi “tokoh” perkembangan ilmu kesehatan juga.
Berjasa belum tentu
dicinta, seperti itulah virus. Meski memiliki peran dalam perkembangan ilmu
kesehatan, kehadirannya menimbulkan banyak kekhawatiran. Berbicara virus, salah
satu tokoh “virus” adalah Adolf Meyer warga negara Jerman. Tahun 1883
menyelidiki fenomena pada daun tembakau yang terjangkit penyakit. Dalam
kesimpulannya, Adolf mengatakan, penyebab gejala pada daun tembakau adalah
organisme yang ukurannya jauh lebih kecil dari bakteri, yaitu virus.
Satu-satunya hal yang
bisa dilakukan virus adalah berproduksi. Sebut saja penyakit AIDS (Acquired
Immune-Deficiency Syndrome) yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus). Epidemi
mematikan yang menyerang populasi manusia dan berhasil memusnahkan ribuan nyawa
diberbagai tempat ini, memperoleh perhatian tinggi komunitas kesehatan dunia.
Sehingga perlu ada tindakan preventif agar tidak bertambah korban.
Asal Muasal dan Manipulasi
Teori monyet hijau,
sebagai dalil awal munculnya virus HIV/AIDS mendapat sangkalan dari berbagai
pihak meski banyak pihak masih percaya dan berpegang teguh pada teori ini.
Epidemic ini sebenarnya bukan berasal dari simpanse, tetapi ciptaan para
ilmuwan yang kemudian diselewengkan melalui rekayasa tertentu untuk memusnahkan
etnis tertentu (Jerry D. Gray: 2006).
Kemudian
liputan-liputan media tahun 1999, teori monyet hijau dialihkan dengan teori
simpanse luar afrika. Filogenetik virus
primata pembawa virus HIV yang melompat dari simpanse ke manusia menjadi dalil
komunitas ilmiah untuk propaganda penyakit AIDS. Berkoar-koar menyatakan ini
bukan buatan manusia.
Tiga puluh persen
penduduk kulit hitam di New York City percaya bahwa AIDS adalah “senjata etnis”
yang didesain di dalam laboratorium untuk menginfeksi dan membunuh kalangan
kulit hitam (The New York Times: 29 Oktober 1990).
Jika benar adanya maka
pihak bersangkutan harus bertanggung jawab penuh dalam hal ini. Masyarakat berhak menuntut dan ber-amarah atas sikap tidak
berprikemanusiaan. Terlepas dari itu, HIV/AIDS kini telah menjadi “bubur”. Sudah
terjadi di berbagai tempat dan tak terbendung. Hal yang paling penting adalah
tentukan sikap preventif dan penyembuhan (healing) pada ODHA (Orang Dengan HIV
AIDS).
Harapan
Besar
Berbagai institusi
dibentuk dan penjalinan kerja sama ditumbuhkan sebagai wujud keseriusan dunia dalam
menghadapi spesies epidemi satu ini.
Beberapa pendukung ditelurkan, seperti organisasi utama dalam menanggani
HIV/AIDS secara global adalah UNAIDS (United Nations Programme on HIV and
AIDS). Pendukung utama yang bermarkas di Jenewa, Switzerland ini bertugas
memimpin, memperkuat dan mendukung respon yang meluas terhadap HIV dan AIDS.
Di Indonesia ada KPA
(Komisi Penanggulangan AIDS) yang berperang melawan HIV/AIDS. Seiring
berjalannya waktu, terjadi revitalisasi KPAN tahun 2005, yang mendorong
hadirnya Perpres no.75 tahun 2006 tentang pembentukan KPAN dan Permendagri
No.20 Tahun 2007. Munculnya putusan-putusan tersebut mendorong pengembangan
KPAP (Provinsi) dan KPAD (Daerah) dalam gegap gempita menghadapi HIV/AIDS
bersama-sama.
Dunia bisa sedikit
tersenyum dengan munculnya harapan segera musnahnya HIV/AIDS. Pasalnya
terselenggara Even 20th Internasional AIDS Conference (Konferensi
AIDS Sedunia) pada bulan Juli 2014 di Australia yang membedah, membahas dan
mendiskusikan topik HIV dan AIDS. Lewat konferensi ini, mencetuskan gagasan
menarik, yaitu “We Can end AIDS by 2030”.
UNAIDS melampirkan
publikasi konferensi ini (2014) dengan judul “The Gap Report” kepada dunia.
Mereka opitimis dengan memberantas habis AIDS pada tahun 2030. Hal ini didukung
oleh beberapa fakta yang mendekatkan kita pada harapan besar tersebut.
Harapan-harapan nyata itu adalah:
Ø Jumlah
kasus infeksi baru menurun.
Ø Satu
langkah lagi untuk meniadakan infeksi baru pada anak.
Ø Lebih
banyak ODHA yang mengetahui status HIV-nya dan menerima terapi HIV (terapi ARV)
Ø Jumlah
kematian yang disebabkan/terkait AIDS menurun.
Menurut Michel Sidibe, Executive
Director UNAIDS, problema AIDS sekarang ini adalah bagaimana kita menutup
kesenjangan antara orang-orang yang bergerak maju dan orang-orang yang
tertinggal? Melalui The Gap Report ini kita memberikan informasi dan analisis
kepada orang orang yang tertinggal.
Masih Sidibe, dari 35
juta orang yang hidup dengan HIV di dunia, 19 juta tidak tahu status
HIV-positif mereka. Dan terhitung 1 dari 4 wanita terkena infeksi HIV baru di
Sahara, Africa. Tahanan lebih rentan terkena HIV, TBC dan Hepatitis B dan C
daripada masyarakat biasa. Memperhatikan orang yang tertinggal berarti menutup
kesenjangan antara orang yang bisa mendapatkan jasa dan orang yang tidak bisa,
orang-orang yang dilindungi dan orang-orang yang dihukum. Bekerja bersama-sama,
Working together, ending the AIDS epidemic is possible, and it will take
leaving no one behind, pungkasnya.
Bagaimana Indonesia Hadapi AIDS?
Harapan adalah hal yang
tidak boleh hilang dalam diri seseorang. Harapan-harapan yang disertai sikap
empiris adalah keniscayaan dalam tindakan. Melalui pemerintahan baru Jokowi-JK,
dan jargon “A New Hope” tidak boleh stagnan. Trobosan menyehatkan bangsa guna
menyelamatkan masa depan bangsa harus menjadi perhatian khusus kabinet baru.
Kemunculan BPJS
Kesehatan yang juga dikenal Jaminan Kesehatan Nasional adalah salah satu alat
preventif dalam menanggulangi AIDS. Pada tahun 2013 melalui Perpres No 12 Tahun
2013 terjadi revitalisasi jaminan kesehatan. Siapa saja berhak mendapat jaminan
berupa perlindungan kesehatan agar memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, yang diberikan kepada yang
sudah membayar iuran atau iurannya dibayar pemerintah.
Melalui kartu “sakti”
Indonesia Sehat akankah Indonesia mampu memberanta HIV/AIDS secara tuntas?
Perlu kita nanti. Sebagai warga negara yang baik, tentulah kita turut
berpartisipasi dalam menutup kran epidemic AIDS. Beberapa usulan yang bisa
digunakan pemerintah dalam merespon penyakit yang satu ini.
Ø
Perhatian lebih pada lembaga KPA. Dalam hal ini pemerintah
diharapkan memberikan perhatian lebih terhadap lembaga-lembaga yang berperan
langsung dalam memberantas AIDS. Bisa dengan membentuk korporasi antar KPA dan
Dinkes dengan tupoksi yang jelas dan terarah. Selain itu KPA perlu terus
dikembang biakkan menjadi multi sektor untuk mempercepat dan efisien dalam
penanggulangan ODHA di berbagai tempat.
Ø
Perencanaan Kerja dan Anggaran yang Jelas serta
Terukur.
Perencanaan yang baik akan memberi dampak positif dan terus dikembangakan
melalui evaluasi secara continue untuk mencapai kinerja terbaik. Akan tetapi
dokumen-dokumen itu tidak tersedia. Kondisi KPA daerah banyak yang tidak
memilik anggaran AIDS khusus, selain dari Kemenkes.
Ø
Pembentukan Roadmap Penanggulangan AIDS. Melalui data yang
valid, perencanaan akan bisa terwujud. Proses perencanaan ini dilakukan secara
partisipatif dan terbukan pada level kabupaten/kota. Sehingga perencanaan bisa
dilakukan melalui pencegahan dan pengobatan.
Ø
Peran Wanita dalam Penanggulangan HIV/AIDS. Menurut aktifis gender
dan AIDS, Esti Susanti, adalah perlu dimasukkan perempuan dan pelibatan
masyarakat. Karena epidemi HIV/AIDS sekarang berkembang di kalangan perempuan.
Sikap berani dan partisipatif masyarakat juga turut diharapkan untuk menekan
laju epidemi satu ini dan mencapai Tree Zero (Zero new Infection, Zero death
related HIV/AIDS, zero descrimination PLHIV).
Ø
Penerapan Antiretroviral Therapy (ART). Terapi melalui ART ini
dapat mengurangi viral load yaitu jumlah HIV dalam aliran tubuh kita. Dan
nyatanya obat penyembuh infeksi HIV belum ditemukan. Menurut data UNAIDS negara
tingkat penularan HIV di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah
dengan tinggi dan rendah cakupan ART pada tahun 2013. Cakupan paling rendah
terapi ART adalah Pakistan, kemudian Tunisia, Egypt dan indonesia berada
diurutan ke-7. Dan cakupan tertinggi terapi ART disabet oleh Guyana, Papua
nugini, Argentina. (The Gap Report, hal 286). Dengan peringkat ke-7 paling
rendah cakupan ART-nya Indonesia patut waspada dan meningkatkan pelayanan ART.
*Happy HIV/AIDS Day, 1th December 2014, We Can End it Together!
No comments:
Post a Comment