Beberapa hari yang lalu saya sempat membaca koran Jawa Pos edisi
02 April 2015 dalam rubrik opini. Tulisan itu berjudul “Maaf, Saya Mengumpat”.
Menurut si penulis, sejatinya kata-kata yang kita anggap jorok atau terkesan
kasar seperti bangsat, bajingan tidak memiliki
konotasi negatif pada awalnya. Namun seiring perkembangan zaman kata-kata itu
mengalami pelebaran dan menjadi ungkapan populer untuk mengekspresikan
kekecewaan terhadap sesuatu.
Bangsat dalam terminologi jawa adalah hewan Tinggi (binatang
yang menghisap darah) yang sering kali berdomisili di kasur atau kursi-kursi
kayu yang lembab, biasanya sering ditemukan di kursi warung makan. Hewan kecil
dan bau ini sering kali menghisap darah tanpa pangestu dari si-empunya.
Biasanya, bangsat akan meninggalkan kesan berupa benjolan besar pada area tubuh
yang berhasil dihisapnya. Mungkin sikapnya yang kurang ajar, sering menghisap
darah seperti vampir, tanpa izin, sehingga dijuluki bangsat. Entahlah!
Diksi masyarakat modern dalam menyortir kata untuk kemudian ditransformasikan menjadi ungkapan kecewa adalah kecerdasan yang perlu diapresiasi. Entah siapa yang memulainya tapi ungkapan itu sesuai dengan interpretasi kata asal dan kemudian ditujukan untuk para cecunguk di zaman ini. Jika disyarhkan lebih lantang, bangsat bisa ditakrif menjadi manusia penghisap darah rakyat. Lebih biadab dari vampir penghisap darah “saja”, menurut saya.
Keberdayaan masyarakat jelata dalam melawan tirani pemerintah amat
cekak. Terbukti ketika konstelasi politik dan sosial yang semakin kucar-kacir,
masyarakat jelata hanya menjadi penonton. Padahal yang dipertaruhkan adalah
nasib kehidupan mereka. Sebut saja kisruh antara Gubernur DKI Jakarta dan DPRD
Jakarta, rapat ala taman kanak-kanak para Dewan Perwakilan Rakyat, korupsi dan
lain sebagainya. Mestinya para wakil rakyat memperjuangkan mati-matian ketika
bicara soal rakyat, bukan malah tidur saat sidang soal rakyat.
Mengutip pesan Kiai Chudori kepada Gus Dur muda dalam suatu
pengajian Tafsir Maroghi di Pesantren Tegalrejo. “Santri-santri, anak-anakku
semua. Sehebat apa pun laku wirid yang kalian lakoni, tanpa diiringi uswah atau
teladan kepada umat, semua menjadi sia-sia. Kalian sebaiknya mengerti bahwa
uswah yang terbaik adalah bukan semata-mata ingin ditiru, melainkan sikap aktif
terhadap pembelaan masyarakat yang lemah dan tertindas. Itulah tarekat para
nabi. Tak perlu takut untuk membela orang-orang tertindas. Bahkan, untuk
membela orang-orang tertindas itu, kalian harus rela mengorbankan harga diri,
nama baik kehormatan, dan bila perlu nyawa kalian sendiri yang menjadi
taruhannya.” Ah, andai saja para wakil rakyat bangsat itu ada
yang ikut pengajian ini, mungkin saja mereka tidak menjadi bangsat.
Bajingan, paritas ungkapan yang sama untuk ekspresi kekecewaan
memiliki arti yang lebih unik. Masih menurut si-penulis (red-opini) diatas
adalah julukan seorang rider gerobak sapi. Zaman dahulu jika
masyarakat ingin berpergian, transportasi gerobak sapi adalah kendaraan yang
ekonomis dan paling suitable. Mereka sering menunggu dipinggir
jalan untuk ikut nunut gerobak sapi untuk sampai
tujuan. Sekali waktu gerobak yang ditunggu tak kunjung datang dan masyarakat
berujar “sepertinya bajingan tidak datang.”
Jika dikaji secara seksama, celetukan masyarakat atas bajingan menyimpan
rasa gegetun. Menunggu kedatangan bajingan dan nyatanya dia tidak muncul
pastilah kecewa, jika sudah demikian, masyarakat terpaksa harus berjalan kaki
untuk sampai di tujuan.
Bagiku, diksi bajingan sebagai ungkapan kecewa bukan hanya sekedar
clometan semata, tapi memiliki filosofi yang tidak melenceng dari asalnya.
Lagi-lagi saya acungkan dua jempol bagi “Tokoh” yang pertama kali
mentrasnformasikan terma bajingan ke dalam dunia keseharian. Jika bajingan diartikan
penunggang gerobak sapi, saya lebih suka mengartikan bajingan sebagai Penunggang
Gerobak Rakyat (otoriter/red-karepe dewe). Andai saja ada pagelaran
Oscar Diksi, mungkin bangsat dan bajingan berhasil menyabet piala dalam
kategori expression of disappointment. Ah!
Penah tulisan bangsat dan bajingan ini saya update di facebook
dengan tambah makna sesuai versi saya sendiri. Salah seorang teman saya
nimbrung komentar, “Dancuk berasal dari bahasa arab Da’ Su’. Da’ (tinggalkanlah)
dan Su’ (ing perkoro olo).” Aku tersenyum membaca komentarnya,
mungkin saja temanku ini benar, sebab ada sebuah hadis yang mengatakan Da’
maa yaribuk ilaa maa laa yaribuk (Tinggalkanlah yang meragukanmu
menuju yang tidak meragukanmu). Dalam matan Hadisnya mengatakan “Tinggalkanlah
yang meragukanmu menuju yang tidak meragukanmu, karena sesungguhnya kebenaran
itu memenangkan dan sesungguhnya kebohongan itu meragukan.”
Sambil tertawa, aku balas di kolom komentar dibawahnya “Haha,
berarti dancuk itu ucapan yang mulia donk mas?”. Sambil terkekeh dia menjawab,
iya, bila diucapkan dengan tajwid dan makhorijul huruf yang benar, ha... haa..
Terminologi arab, Da’ memang berarti tinggalkanlah dan
Su’ bermakna perkara buruk. jika dibalut menjadi satu menimbulkan
interpretasi Tinggalkanlah perkara buruk! Kata Jancok, Dancok
atau disingkat menjadi Cok adalah sebuah kata yang menjadi ciri khas komunitas
di Jawa Timur, terutama Surabaya dan sekitarnya. Normalnya ungkapan itu
digunakan sebagai umpatan pada saat emosi meledak, marah atau membenci. Namun
kata Jancok juga menjadi simbol keakraban dan persahabatan
khas di kalangan sebagaian arek-arek Suroboyo. Menurut Kamus
Daring Universitas Gadjah Mada, istilah jancuk memiliki makna “sialan keparat,
brengsek atau digunakan untuk ekspresi keheranan atas sesuatu yang luar biasa.”
Bangsat, Bajingan dan Jancok adalah beberapa corak masyarakat
dalam memanifestasikan rasa kecewa, frustasi, putus asa atas kenyataan yang
bagi mereka jauh dari kata adil dan makmur. Korupsi, suap, penggelapan pajak
adalah sebagian potret kebusukan oknum pemerintahan yang bersikap layaknya
bangsat dan bajingan. Mengutip Gus Mus “Terkadang para koruptor berlagak
menyuap Tuhan dengan menyisihkan sebagian harta korupsinya untuk sedekah,
menyantuni anak yatim, Umroh bahkan Haji. Mereka berharap untuk mensucikan
harta korup dengan teori pemutihan yang sungguh naif.”
Mungkin juga para Bajingan dan Bangsat itu tidak
pernah ikut pengajian Ushul Fiqh saat sekolah dulu. Sebuah
kaidah mengatakan Maa Haruma Akhdzuh Haruma I’tha’uh (sesuatu yang
haram diterima, diharamkan pula untuk diberikan). Ah, lagi-lagi aku
harus memelintir kepala untuk mengerti kebodohan yang dilakukan para bandit
itu. Sudahlah, mereka masih anak-anak.
*Tulisan ini pernah saya kirim ke Jawa Pos pada hari Rabu, 08
April 2015 tapi tidak dimuat.
No comments:
Post a Comment