Jika boleh mengibaratkan, ada dua
instansi pemerintahan yang mempunyai persepsi berlawanan arus. Memercikkan
butiran kebahagian dalam dua insan yang menyatu, KUA. Dan mengurai kesyahduan
dalam bingkai kemesraan, Pengadilan Agama. Belum mudeng ya? KUA – Idkholus
as-surur (memberikan kebahagian) dan PA – Ikhrojus as-surur (mencabut
kebahagian). Itu hanya sebagian persepsi masyarakat yang saya bahasakan. Dalam
kenyataanya tidak melulu seperti itu kog. Itu hanya persepsi bukan bukti. Toh
setiap manusia boleh memberikan kesan, karena kesan tak bisa dipersalahkan.
Orang bijak mengatakan “kita sering melihat hutan, bukan pohon”.
Setiap pernikahan pastilah
sesuatu yang membahagiakan. Lalu apa arti nikah? Menurut KBBI, nikah adalah
ikatan (akad) yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
Secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Seperti yang dijelaskan oleh Abu
Bakar bin Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifayah al-Akhyar, dikatakan: nakahat
al-asyjar, pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu
tempat.
Dalam al-Quran sendiri, kata
nikah kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai
untuk menyebut suatu hubungan seksual. Contoh dengan arti akad nikah: fankihu
maa thoobalakum... (an-Nisa’: 3) sedangkan
yang memiliki arti hubungan seksual: faain thollaqoha falaa tahillu lahu min
ba’di hatta tankiha... (al-Baqarah: 230). Lalu bagaimana
membedakan antara nikah yang bermakna akad nikah dan nikah yang berarti
hubungan seksual?
Para ulama membedakan antara
keduanya dengan keterangan sebagai berikut: Jika dikatakan bahwa soerang
laki-laki menikah dengan soerang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan,
maka artinya laki-laki tersebut melakukan akad nikah denganya. Jika dikatakan
bahwa seorang lelaki menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa laki-laki
tersebut melakukan hubungan seksual.
Seiring perkembagan zaman dan era
globalisasi, semua aspek kehidupan mengalami kemajuan dan peningkatan yang
pesat. Termasuk di dalamnya hal yang positif. Sebagai konsekuensi logisnya maka
perkara yang negatif pun mengalami nasib yang sama. Seperti pernikahan. Saya
rasa banyak sekali orang keliru dalam memahami pernikahan. Bahkan mungkin
sengaja bodoh tentang apa itu menikah.
Statistik pernikahan pasca hamil
atau bahasa populernya LKMD (Lamaran Kari Meteng Disek) setiap tahunnya
mengalami peningkatan yang luar biasa. Selama 2013, anak-anak usia 10-11 tahun
yang hamil di luar nikah mencapai mencapai 600.000 kasus. Sedangkan remaja usia
15-19 tahun yang hamil mencapai 2,2 juta. Jumlah itu belum termasuk remaja yang
hamil usia 12-14 tahun yang tidak terdata. Data ini disampaikan oleh Mensos
Khofifah Indar Parawansa pada tahun 2014. Bagaimana dengan 2015?
Jika ditelisik lebih dalam,
pergaulan bebas dikalangan remaja sudah mencapai status gawat alias
mengkhawatirkan. Banyak anak perempuan berusia kurang dari 15 tahun hamil di
luar nikah. Lebih parahnya, sebagian besar lelaki yang menghamili memilih lepas
tanggung jawab. Kalau pun tanggung jawab, rumah tangganya tidak akan bertahan
lama. Silahkan dibuktikan kalau tidak percaya.
Pemerintah telah membuat
kebijakan bahwa anak-anak yang lahir tanpa ayah dan atau ibu dijadikan sebagai
anak negara yang akan dipenuhi seluruh haknya sebagai warga negara.
Permasalahannya apakah pemerintah mampu menampung seluruh anak tanpa identitas
yang jelas tersebut? tentu jawabannya tidak.
Menurut Menteri Sosial,
pemerintah hanya mampu membantu atau menanggung hak hidup 150 ribu anak per
tahun. selebihnya, dia meminta partisipasi masyarakat sebagai bagian dari
tanggung jawab sosial karena kini ada 1,1 juta anak yang lahir tanpa ayah dan
atau ibu.
Masih mengutip Ibu Khofifah,
seperti contohnya sebuah Pesantren Milenium di Sidoarjo, Jawa Timur, yang
menampung lebih 250 anak yang tak diketahui ayahnya. Jumlah itu semakin banyak
karena tak ada kontrol dari keluarga masing-masing.
Aman menurut TNI, tidak ada teror.
Aman menurut polisi, tidak ada begal. Tapi bagi majelis ormas, masyarakat, yang
membuat tidak aman adalah persoalan krisis
akhlak yang semakin merajalela. Fenomena ini adalah wujud nyata
degradasi moral dan akhlak yang membahayakan bagi generasi masa mendatang.
Tentu ini menjadi tanggung jawab sosial kita selaku penduduk Indonesia.
Sebuah pengalaman miris pernah
saya dengarkan langsung dari pihak KUA yang menanggani langsung LKMD di salah
satu daerah yang memiliki basis keilmuan agama yang bisa dibilang cukup.
Ceritanya begini, suatu ketika
ada seorang pria yang memiliki pacar. Entah diberi iming-iming apa, mungkin
dengan dalih magis “karena aku cinta padanya” hingga suatu hari si-pria
menghamilinya. Jika memang cinta kenapa harus dihamili sih? Lebih anehnya lagi
wanita pun sering kali ikut meng-amini dalil tersebut. Baru setelah keblabasan,
bingung bukan kepalang.
Tak lama, selang beberapa waktu
setelah berhasil merengkuh mahkota pacarnya, dia berkenalan dengan seorang
wanita lain. Pun sama, pria ahli rayu ini berhasil merasakan kenikmatan mahkota
wanita yang dikenalnya beberapa waktu yang lalu. Entah jampe-jampe apa
yang digunakan tapi walhasil dua wanita berhasil dia suntik dan berisi.
Demi menjaga nama baik, pria
hidung belang ini menikahi kenalannya sebagai wujud tanggung jawab terhadap
janin yang dititipkan pada rahim itu. Menikahlah mereka di KUA setempat dan
melalui tahapan persyaratan nikah, akhirnya berhasil dan resmi secara hukum
positif. Pendek cerita, pacarnya juga dinikahi karena memang sudah hamil.
Terdaftar pula di kUA setempat dengan memalsukan identitas.
Suatu hari, karena urusan
tertentu mertua dari cewek hasil kenalan itu pergi ke KUA. Maksud hati ingin
mengurus akta anak eh ternyata secara tak sengaja identitas cowok beristri dua
alias mantunya sendiri ini diketahui sang mertua. Murkalah dia, ternyata
menantu yang menghamili anaknya punya istri lain secara sah. Merasa dikibuli,
polisi pun bertindak. Walhasil pria hidung belang berhasil diringkus dan
merengsek di tahanan jeruji besi.
Sudah menjadi perkara umum dan
mafhum perawan hamil di luar pernikahan. Ini kemirisan moral yang sulit
diantisipasi tanpa ada pengawasan secara seksama dan bersama. Lebih parahnya,
ada sebuah adigium terkenal di antara para jejaka dan atau lelaki masa kini yang
berbunyi, “Ora lanang yen gurung merawani wadon”, bukan laki-laki sejati jika
belum pernah menyetubuhi perempuan. Lah??? Jika degradasi akhlak dan moral
sudah separah ini mungkinkah generasi selanjutnya memiliki wanita perawan dan
lelaki perjaka? Mungkin akan punah seiring perputaran budaya esek-esek.
Banyak faktor yang mempengaruhi
pergaulan bebas pemuda masa kini. Pertama, pendidikan agama. Pendidikan sekolah
umum yang notabene minim pendidikan agama menjadi salah satu penyebab kenapa
pemuda Indonesia mengalami krisis moral. Bahkan sebagian sekolah yang berlabel
umum seperti SMA memberikan pelajaran agama yang setara dengan pendidikan agama
di Madrasatul Ibitidaiyah. Seperti tuntutan shalat, puasa, zakat dst. Tak
mengherankan apabila untuk sekedar niat shalat saja banyak sekali yang tak
bisa.
Kedua, lingkungan. Kita paham
benar bahwa pembentukan karakter seorang anak dibentuk oleh lingkungan setelah
keluarga. Seorang siswi SMP mengaku tidak tahu dan tidak paham bahwa
zina-seks-kumpul kebo adalah haram. Bayangkan! Betapa mirisnya keadaan pemuda
kita. Keadaan ini bukan omdo (omong doang) tapi benar-benar terjadi. Pada
awalnya dia diperkosa, kemudian merasa ketagihan hingga akhirnya terus mencoba
dan berujung pada perut buncit. Jika demikian, siapa yang harus kita salahkan?
Apakah siswi mungil itu? atau lingkungan kita yang lebih memilih apatis?
Seorang teman berucap, “lha seng mondok ae ada yang kebobolan, apalagi yang
tidak mondok”.
Ketiga, peran keluarga. Peran
keluarga menjadi prioritas utama demi menjaga kesucian dan moral seorang anak.
Mestinya keluarga adalah agen pertama yang paling peduli terhadap pergaulan
mereka. Perlu sedikit mengekang tapi tetap penuh kasih sayang. Kita bisa contoh
pemerintah Aceh yang kini menerapkan sistem jam malam bagi perempuan pekerja
sampai pukul 11 malam. Hal ini karena banyaknya kasus pelecehan seksual
terhadap wanita di Aceh. Karena banyak perempuan yang bekerja di kafe atau
swalayan hingga larut malam. Hal ini dianggap sebagai eksploitasi perempuan
karena rawan terjadi pelecehan seksual. Nah, keluarga bisa saja menerapkan hal
serupa dengan lebih efektif dan harmonis.
Ini menjadi refleksi kita
bersama. Apapun metodenya dan caranya untuk menjaga generasi masa depan dari
degradasi moral adalah keniscayaan. Sebab, kemajuan teknologi dan komunikasi
serta pergaulan tidak diiringi peningkatan moral penduduk kita. Wanita sering lupa bahwa hal yang paling berharga adalah dirinya. Serumpun, menjadi seorang wanita yang dihormati lebih baik berbanding wanita yang diminati banyak kaum Adam. Wallahu
‘alam bis as-Showab
*oleh Muhammad Septian Pribadi, sebagai wujud peduli kasih terhadap pemuda (termasuk saya, karena masih muda) dan refleksi hasil praktikum di KUA setempat. Semoga bermanfaat.
ustadz jossss
ReplyDelete