Sebuah SMS muncul dan mengejutkanku
saat kongkow di warung kopi langganan, Jopok. Sudah menjadi kebiasaan bagiku
menghabiskan sebagian 24 jam untuk duduk dan serawungan di Jopok, walau
seringnya ngerasani. Mulai dari yang sepele hingga permasalahan elit di
negeri ini. Semua kami tumpah ruahkan di atas meja persegi empat bersama kopi,
Jopok.
Nada dering singkat berbunyi,
sepertinya familiar sekali suara itu. Kutenggok Hpku yang retak membentuk tiga
garis menyebar, vertikal dan horizontal tepat di tengah layarnya. Meski sering
jatuh dari pelukakanku, hp ini tampak selalu kuat dan tegar. Baru kali ini dia
luka, mungkin dia protes dan lelah hingga berani melukai dirinya, sebagai
bentuk protes terhadapku.
Satu pesan diterima, ujar Hpku.
Seakan masih tetap setia melayaniku meski dalam luka. Cepat kubuka SMS itu.
“Jangan lupa, tanggal 26 jadwal kamu menulis cerpen.” Asemm, ujarku dalam hati.
Ini pasti Si-penadah tulisan. Benar dugaanku, dia, Semar. Pesan itu tak segera
aku balas agar keamanan diriku terjaga dari terornya.
Sruputt, sruputt, sruputt, kali ini
bukan tegukan teh yang kuminum. Tapi lendir hidung yang menerobos keluar
rongga. Beberapa hari terakhir, cuaca dingin mulai menusuk tulang-tulangku.
Bersin terpaksa menjadi musuhku. Termasuk umbel yang deras menghujam ke
tanah, tertarik gravitasi. Apalagi hidungku ini besar dan mancung. Jika sudah
demikian, tisu adalah sahabat terbaikku.
Sama seperti umbel yang
menjelma sebuah teror, SMS Semar pun demikian. Membuatku tak leluasa menghirup
oksigen. Sebenarnya, Semar bukan masalah terbesarnya, tapi CERPEN. Aku terlalu
sering dibuat kepalang oleh cerpen. Bayangkan saja, setiap kali sekolah menulis
di padepokanku digelar, semua pertanyaan yang diajukan adalah tentang cerpen.
Terus aku harus menjawab apa?
Itu pertama. Kedua, hegemoni cerpen
berhasil merasuki pikiran para anak petani yang ingin belajar menulis. Bayangan
mereka, jika bisa menulis cerpen seseorang akan cepat masyhur. Apalagi
bisa menulis novel. Buku mereka terjual laris, dibedah dimana-mana, dijadikan
film, diundang talk show dan seterusnya. Sayangnya, itu khayalan. Karena
aku tak paham tentang cerpen, apalagi novel. Jadi, jangan tanya saya tentang
cerpen!
Terakhir adalah Inspirasi. Semar
menjadi teror bagiku dan tentu aku tak menyukainya. Andai saja dia bukan agen
cerpen pasti aku akan memberinya makanan kesukaanya, buah pisang idamannya, dan
Es Degan favoritnya... ah sudahlah, terlalu banyak berandai akan membuat haluan
cerpen pada khayalanku. “Loh, itu kan sudah bisa jadi inspirasi menulis cerpen
mas,” sahut Imah membuyarkan curhatanku. “Ah.. kamu ini, mana bisa curhatanku
menjadi cerpen. Jangan ngaco deh!” Sergahku padanya.
Imah adalah wanita tangguh yang amat
mencintai petualangan. Sampai-sampai dia minta ayahnya dibelikan sepeda motor
cross untuk mendaki gunung, gila kan? Aku yang cowok aja belum pernah terbersit
ingin menaiki raja tanah liat itu. Lebih ekstremnya lagi, dia adalah traveler
sejati.
Hampir setiap bulan pergi ke luar
kota untuk mencari gunung, laut, dan hutan hanya untuk disowani. Malang,
Lamongan, Bawean, Panggandaran, Pacitan dan masih banyak lainya, berhasil dia
jajah. Bahkan sempat nginep juga.
“Kamu itu nggak ada kerjaan ta di
rumah kog jalan-jalan gak jelas gitu?” tanyaku. “Cuman iseng aja pengen
jalan-jalan”, jawabnya sambil senyam-senyum. Lha...
Terkadang aku merasa minder dengan
diriku sebagai lelaki. Yang lebih sering menghabiskan waktu di padepokan. Imah
yang sudah menjelajah ratusan tempat aneh di Nusantara mengingatkanku pada Hua Mulan,
legenda perempuan maskulin yang berasal dari Tionghoa. Seorang wanita yang
diharapkan tampil feminin oleh keluarganya namun di luar dugaan Mulan ikut
program wajib militer. Sosok yang kuat, tangguh, dan tak kenal takut. Tapi Imah
sedikit berbeda, sedikit.
Suatu ketika Imah berkendara dengan
sepeda motornya yang sedikit kusam. Bensin hampir habis dan di dompetnya hanya
ada selembar kertas bergambar Tuanku Imam Bonjol. “Semangat Tuanku melawan
penjajahan itu tak akan berguna jika ditukar dengan bensin di zaman sekarang.”
Lamunnya di atas motor yang melaju statis. Ia berencana pulang karena matahari
mulai memicingkan sinarnya di ufuk barat.
Di pertengahan jalan yang diapit oleh
rerindangan pohon dan hamparan padi yang masih hijau, seseorang melambaikan
tangan padanya di bibir jalan. Seakan memberikan tanda untuk berhenti dan
menepi.
“Mau kemana dek?” tanya Imah saat
menghentikan kendaraanya. “saya pengen nebeng ke arah padepokan yang di
sana.” Sambil mengacungkan jemarinya ke arah Barat. “Kebetulan, aku juga
melewati padepokan itu.” Tuturnya dalam hati. “Ya sudah, boleh saja. Silahkan
naik” Jawab Imah, menyetujui permintaan lelaki berpostur mungil itu. Umurnya
sekitar 6 tahun, mungkin masih kelas 3 SD.
Tangan lelaki itu mencolek punggung
tegap nan tegar Imah yang sedang mengendarai sepeda. Imah baru tersadar setelah
tiga kali bocah itu mencolek punggungnya. “Ada apa dek?” tanya Imah. “Aku minta
uang buat jajan.”Siall..” umpat Imah yang tertahan dalam rongga mulutnya.
Bensin sekarat, uang hanya lima ribu rupiah, eh diminta juga.
Bagaimana ini, pikirnya kebingungan. Dengan
terpaksa Imah memberikan satu-satunya kertas berharga dari dompetnya untuk
bocah itu.
“Dek ini sudah sampai, silahkan
turun.” Dia turun tanpa mengucapkan satu kata pun, tersenyumpun tidak apalagi
terima kasih. Imah memandanginya. Tatapnya kosong dan menakutkan. Wajahnya
aneh, wajahnya tak seperti bocah pada umumya. Aku baru menyadarinya dan bulu
kudukku berdiri.
“Gimana mas ceritaku? Bisa kamu
jadikan bahan cerpen kan?” Seloroh Imah mengejutkanku. Ee.. ee.. ee..
terusannya gimana mah? Jawabku sambil tergagap. “Mau tau cerita selanjutnya
mas? Bayar donk, gak ada yang gratis di dunia ini, karena kelanjutan ceritanya
adalah keajaiban.” “Ooh... dasar semprul.” Umpatku. Gimana aku bisa menulis
cerpen jika ceritanya terhenti. Aku tertunduk, aku tak bisa menulis cerpen
lagi. Cerpen oh cerpen. Sialan kau cerpen!
*Muhammad Septian
Pribadi, alumnus PonPes al-Amin Mojokerto. Sekarang menempuh pendidikan di
Ma’had Aly Hasyim Asyari Jombang dan aktif di Sanggar Kepoedang (Kumpulan
Penulis Muda Pesantren Tebuireng) Pernah dimuat di Tebuireng.org (http://tebuireng.org/cerpen-oh-cerpen/)
No comments:
Post a Comment