Islam bukan agama
kaku dan keras. Islam bukan agama yang terlampau lentur nan fleksibel. Islam
itu juga bukan tayangan sinetron atau drama. Mengutip dari Cak Nun, Islam itu
substansi nilai, juga metodologi. Ia bisa memiliki kesamaan atau perjumpaan
dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik yang berasal
dari “agama” lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah tradisi. Namun
sebagai sebuah keseluruhan entitas, Islam hanya sama dengan Islam.
Sejarah babat Jawa
yang kental dengan corak tradisi mistis, animisme dan dinamisme menjadi artefak
yang tertuang dalam literasi sejarah nusantara. Term yang mengandung berbagai
macam hiruk-pikuk kehidupan dan mengandung berbagai macam kebiasaan individu,
tata nilai, prilaku, etika dan sebagainya selanjutnya disebut sebagai tradisi.
Tradisi sama dengan
adat istiadat, konsep serta aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam
sistem budaya di suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam bidang
sosial kebudayaan itu (Koentaraningrat: 1984: 187 ). Oleh sebab itu segala
kegiatan yang memiliki integritas kuat dalam sebuah sistem budaya dan menata
tindakan manusia dalam kehidupan dapat diartikan budaya, seperti Valentine.
Valentine atau
orang sering menyebutnya “Hari Kasih Sayang” yang dibungkus dalam pemberian
berupa coklat pada lawan jenis sebagai ungkapan kasih sayang memiliki sejarah
yang simpang siur. Satu kepastian dari valentine adalah jatuh pada tanggal 14
Februari. Hal ini sudah jamak diketahui khalayak umum lebih-lebih para pemuda
yang sedang dirundung cinta pastilah menanti hari kasih sayang ini.
Berbagai macam
pernak-pernik penyambutan dilakukan oleh masyarakat dalam memandang valentine
itu sendiri, yang merayakan banyak, pun yang melarang juga tak sedikit.
Sehingga menjelang tanggal “sakral” 14 Februari berbagai golongan meramaikan
perdebatan tentang valentine. Dan yang paling mainstream tentu fatwa haram bagi
kaum muslim untuk turut serta merayakan hari kasih sayang yang konon berasal
dari budaya barat.
Melihat hal semacam
itu tak ubahnya sebuah perdebatan yang melelahkan, seperti halnya pro-kontra
dalam pengucapan hari natal oleh pemeluk islam pada umat kristiani. Melihat
fakta yang sedemikian rupa dan menumbuhkan berbagai statement tanpa praktik
yang menjanjikan perlulah sebuah trobosan aksi nyata yang sesuai adagium ilmu
kedokteran “mencegah lebih baik daripada mengobati”.
Pada tataran
praksis, diktum-diktum pemuka agama tentang pelarangan ranah partispatif
valentine memang pencegahan yang benar harus dilakukan. Namun diskursus
pencegahan berupa fatwa ini apakah memberikan efektifitas dalam tataran
kehidupan nyata? Ataukah diktum ini kemudian hanya sebatas aksi normatif dan
akan terus diulang-ulang setiap tanggal 14 Februari yang kadang terkesan
bernada melecehkan dan kurang pantas dilakukan oleh kaum terdidik Islam? Jangan
sampai pencegahan ini pada hakikatnya menjadi pengobatan yang dilakukan rutin
setiap tahun sekali.
Sejenak kita perlu
melakukan telaah regresif tentang Jawa. Masyarakat Jawa pada zaman dahulu akrab
dengan ajaran mistis, tata susila, basu krama, soba sita, sesajen, slametan,
klenik dan sebagainya. Singkat kata kental dengan tradisi Kejawen. Tentu
merubah budaya lokal yang sedemikian kental bukan perkara muda bagi pahlawan
Islam tanah jawa, atau Wali Sanga sering kita menyebutnya, untuk merubah
keadaan yang sedemikian rupa. Tapi nyatanya perkiraan sulit itu terjungkal
menjadi kenyataan seperti keadaan yang kita alami sekarang ini. Islam-Jawa yang
menjunjung tinggi kearifan lokal.
Langkah yang
dipilih untuk menciptakan immortality Islam-Jawa yang berlangsung sekian
ratus tahun bukan dengan cara pelarangan secara mentah-mentahan atau kekerasan
apalagi peperangan dengan menghancurkan budaya setempat dan diganti dengan
kebudayaan baru. Melainkan dengan sikap adaptif para Wali Sanga yang membiarkan
tradisi yang telah mengakar kuat, seraya melakukan langkah-langkah infiltrasi
ajaran dan pandangan Islam.
Di Jawa, Islam
lebih lentur dan lebih kontekstual, menekankan pada aspek pikir dan spiritual
meski bungkusnya berupa kebudayaan setempat. Sebut saja Sunan Bonang melalui Gending
Dharmanya yang menyihir masyarakat Jawa dengan doktrin yang disisipkan
melalui permainan gending yang menawan. Sunan Bonang berusaha menggeser
kepercayaan hari-hari na’as dan dewa-dewa dengan mengenalkan nama malaikat dan
nabi-nabi. Selain itu Sunan Bonang menyisipkan wejangan-wejangan ajaran Islam
bernama Wijil dan beliau juga mencipta kidung Tombo Ati.
Hal selaras juga
dilakukan oleh Sunan yang lain, seperti Sunan Giri atau Raden Paku yang
mencipta Gending Asmarandana, Jitungan, Delikan, Jalungan, Lir-Ilir, dan
Cublek-cublek Suweng. Kemudian Sunan Kudus membuat Gending Mijil dan
Maskumambang, membuat dongeng tauhid berseri dll. Sunan Derajat Gending Pungkur
dan Seni Suluk. Sunan Muria membuat tembang Sinom dan Kinanti.
Kearifan lokal yang
diterapkan oleh para wali ini mengundang simpati masyarakat jawa yang amat
menghormati kepercayaan lama. Seperti yang diterapkan oleh Raden Syahid yang
menggubah Wayang Purwo (Sebelumnya Wayang Golek berbentuk boneka), membuat
kesenian Kentrung, tembang Dandang Gula dan masih banyak yang
lainya. Disamping melalui kesenian yang menghibur dan berbasis kebiasaan
masyarakat para Wali Sanga menyulap adat-adat yang menyimpang untuk diluruskan
dengan santun. Tidak melarang akan tetapi ditunjukkan cara yang lebih baik.
Seperti dalam
kebiasaan sesaji untuk upacara kematian, bayen, manten, pindah rumah, selamatan
pertanian, slametan nelayan diganti sedekah. Meminta pada arwah diganti dengan
do’a minta keselamatan pada Allah SWT. Inilah yang kemudian disebut sebagai “Local
Wisdom”. Tampilan lahir akan menyesuaikan dengan tingkat pemahaman agama dan
keyakinan yang dipeluk. Nilai eseoteris yang menancap di batin inilah yang akan
menjadi organ vital selaku pembentuk tradisi.
Pada dasarnya
Valentine tak ubahnya seperti Sesaji Slamatan. Sesaji yang ditujukan untuk
menyenangkan. Biasanya sesajen ini dilakukan untuk membuka lahan baru sebagai
laku hormat untuk mencegah musibah. Sesaji keselamatan ini dihaturkan utamanya
pada Indra, Danyang Desa, Punden dan yang diyakini bisa membantu. Alasan-alasan
sajen ini kita analogikan dengan Valentine, dimana sepasang muda-mudi
memberikan coklat untuk diberikan pada pasanganya dengan harapan hubungan
mereka akan langgeng dan lancar. Yang mungkin dilanjutkan dengan berpacaran dan
bermesraan untuk semakin mengikat rasa cinta yang terjalin antara pria dan
wanita.
Jika
dipersonifikasikan tradisi seperti Valentine yang mengakar pada masyarakat
Indonesia sekarang adalah pesawat. Bagi mereka pesawat yang ditumpangi adalah
keyakinan bahwa dengan pesawat ini akan menghantarkan mereka pada kebahagian
dunia. Mereka tak peduli dengan keadaan pesawat, entah perangkat dan kerangka
pesawat sudah tua atau aus, entah tujuannya kemana yang jelas mereka yakin.
Dalam kondisi seperti ini tentunya mereka tidak akan menoleh jika ditawari
pesawat baru, melarang mereka untuk tidak berpartisipasi dalam valentine akan
hanya menjadi peringatan normatif yang tidak perlu dipatuhi. Maka, langkah
efektifnya adalah dengan merubah lajur kemudi dan lintasanya.
Jika valentine
identik dengan coklat dan cinta maka kita arahkan saja coklat itu untuk
kegiatan kirim doa pada Allah melalui acara selametan dan coklat sebagai
hidangan utamanya. Kemudian diisi Tour ziarah makam dengan hadiah bingkisan
coklat unik bagi siapa saja yang bersedia ikut. Atau acara tebak-jawab seputar
pengetahuan Islam bagi anak-anak dengan coklat berbentuk unik sebagai hadiah
bagi pemenangnya. Atau bisa juga karnaval coklat dengan arak-arakan yang
diiringi salawatan bersama sebagai wujud cinta pada Rasulnya dan diakhiri
dengan mauidoh hasanah tentang perlunya merubah tradisi melalui inovasi.
Menarik bukan? Paling tidak kita sudah mencoba mendidik kearah yang lebih baik.
Imam al-Ghozali mengatakan; “jika seseorang yang dididik tidak mau
meninggalkan prilaku rendah sama sekali atau tidak mau mengganti sifat rendah
dengan sifat baik yang berlawanan, maka sebaiknya memindahnya dari prilaku
tercela pada prilaku tercela lain yang lebih ringan.” (Disarikan dari
berbagai sumber)
*Dari Muhammad
Septian Pribadi, 14 Februari 2015. Selamat Merayakan “Hari Valentine”.
No comments:
Post a Comment