Banyak hal yang
bisa dilakukan saat bulan penuh berkah tiba. Seperti yang digagas oleh
kawan-kawan seperjuangan di organisasi ekstra kampus berbasis keislaman. Kami
ingin nuansa berbeda dari Ramadan sebelumnya. Jika biasanya kami menghabiskan
sebagian besar waktu untuk menjadi mustami’ dari pengajian di pesantren,
duduk manis sambil menggenggam senjata pamungkas, pena dan kitab. Jika bosan
menggoda, ngusilin teman yang menahan kantuk akut sampai
terombang-ambing adalah agenda yang mengasyikkan. Atau bersorak ria karena joke
dari para ustadz. Mentok kalau bosan sudah di ujung umbun-umbun, tidur di
tempat adalah pilihan yang telak.
Pesantren menjadi
kawah candradimuka dalam hidup kami. Di sana kami dididik untuk menjadi insan
swasembada dan swapraja namun tetap kordial, santun, supel, dermawan, murah
hati, berani dst. Bukan sembarang kawah yang mampu menciptakan manusia setengah
dewa seperti pesantren. Babad nusantara dan historiografi yang ditulis oleh
historikus membuktikan bahwa hanya pesantren yang becus melahirkan ulama dan umara’
yang adil dan kaya akan wisdom dalam jiwanya. Sehingga takaran antara soul
keilmuan (‘ilm) dan spiritual (addin) tampil seimbang. Tentu kita tak gebyuk
uya roto. Artinya tak semua yang belajar di pesantren sukses menjadi
setengah dewa, atau separuh malaikat.