Sayup sayup suara ketukan jemari diatas mesin ketik terdengar samar. Beberapa orang sibuk menulis berbagai hal untuk mengejar deadline yang telah ditentukan oleh ketua tim. Sebagian orang menulis kerangka untuk wawancara dan sebagian yang lain sibuk berbincang untuk memusyawarahkan beberapa persoalan. Sebagian yang lain sibuk memikirkan formula untuk menciptakan tulisan yang ciamik dan enak dibaca.
Ditengah hiruk-pikuk kesibukan kantor majalah Pesantren Tebuireng seseorang yang
berprawakan mungil dengan pakaian yang sederhana bersandar di pojok ruangan. Sambil mengotak-atik Handphonnya sibuk mengerakkan jari-jemari kesana kemari. Pria dengan wajah yang
penuh senyum dan bersahaja ini memiliki banyak peran penting dalam pesatnya perkembangan keilmuan Pondok Pesantren Tebuireng, khususnya dalam bidang jurnalistik.
Pria kelahiran 25
tahun silam ini memiliki nama lengkap Ahmad Faozan. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan H. Abdurrahman
dan Hj. Mukhibah yang dilahirkan di tanah Jawa bagian tengah lebih tepatnya di
daerah Cilacap, memiliki segudang prestasi dan sepak terjang yang tidak bisa dianggap sebelah mata.
Pria kelulusan Universitas
Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta ini disebut-sebut sebagai Raja
Resensor dan Pangeran Opini asal Cilacap. Bagaimana tidak berbagai tulisan yang berhubungan tentang Opini dan Resensi buku berhasil dia telurkan dan dimuat di berbagai Koran lokal bahkan sampai Nasional. Hampir sekitar lebih dari 50 buku
yang berhasil dia resensi dan berhasil dimuat.
Resensi buku yang
berhasil dimuat antara lain : Pujian Untuk Sang Nabi (Mizan) dimuat di Koran Bisnis
Indonesia, Dua Kepribadian Pangeran (Mahda Book) dimuat di Suara Merdeka, Internet
Menumpulkan Otak (Mizan) dimuat di Koran Jakarta.
Ahmad Faozan tidak memetik hasil manis karir menulisnya dengan cara yang
instant. Dia memulai karir tulis menulisnya semenjak dia berada di bangku perkuliahan semester II. Inspirasi
menulisnya berawal saat menjadi saksi hidup salah seorang teman kostnya yang
berhasil membiayai tangunggan kuliahnya melalui bidang tulis-menulis sampai
strata II atau pascasarjana.
Berawal dari situ, Fao (sapaan akrab Ahmad Faozan) mulai belajar menulis secara
otodidak. Dia mulai menulis satu per satu gagasan yang ada dalam benaknya dan
menuangkan dalam tulisan-tulisan. Selanjutnya untuk menambah kreatifitas dan keahlianya
dalam jurnalistik dia mulai membaca banyak buku, meresensi buku tersebut lalu
dikirimkan ke koran-koran Nasional.
Setelah mencoba beberapa kali akhirnya opini yang dikirimnya berhasil diterbitkan
salah satu Koran Nasional. Diterbitkannya opini ketika itu terbilang sangat singkat.
Memulai belajar dari semester satu dan menulis di semester dua dan akhirnya diterbitkan.
Dalam rentang waktu hanya setahun untuk belajar dan akhirnya berhasil diterbitkan
adalah bukti bahwa ketekunan memberikan hasil meski hanya dalam waktu singkat.
Beberapa opini yang berhasil ditulis antara lain : Merdeka dari Koruptor
diterbitkanSeputar Indonesia, Menanti Ospec yang Mencerdaskan diterbitkanSuara
Merdeka, Jurusan dalan Para Mafia diterbitkan di koran Kedaulatan
Rakyat dan masih banyak yang lainya.
Perjuangan untuk terus menulis dan berkarya serta menebar inspirasi yang
dilakukan oleh Ahmad Faozan ini seharusnya memberikan ilham bagi para pemuda dan
pemudi di tanah air Indonesia. Karena dengan menulis kita bisa memberikan inspirasi
kepada khalayak umum, selain itu dengan menulis, seseorang mampu mengasah otaknya
dan kreatifitasnya untuk berpikir kritis, inovatif dan dinamis. Hal ini selaras
dengan motivasi Ahmad Faozan yang berbunyi “Hidup untuk Kreatif”.
Selain itu dengan menorehkan goresan tinta diatas kertas
seorang penulis bisa mengukir sejarah, menyerang lawan, mempengaruhi kawan,
menarik simpati, memberi inspirasi, memberi informasi dari belahan dunia lain
kepada seluruh dunia. Bahkan dengan tulisan, kita bisa merubah peradaban dunia.
Seorang Napoleon Bonaparte mengatakan, “sebatang pena lebih kutakuti dari pada
seribu bilah pedang yang dipegang seribu pasukan gagah perkasa”.
subhananallahh... luar biasa..
ReplyDelete