Update

Sabtu, 19 September 2015 (23:56)*

Sunday, 20 September 2015



Rasanya ada yang hilang darimu
Hambar tak tergambar
Bukan tentang perasaan Cinta
Bukan tentang Kasih Sayang
Juga bukan tentang Kesetiaanmu

Entah berapa lagi masanya
Yang jelas semakin lama akan habis bersama dunia

Mungkin tulisan ini melukiskan hatiku
Mencoba mewakili jiwaku
Kesedihan yang tak tergambarkan
Karena Kehilangan

Tahukah kamu apa itu?

Sering kali tidak kita rasakan ketika telah hilang dari seseorang satu saja bagian umurnya.
Terkadang justru lebih memilih merayakannya dibanding melakukan hal kecil yang membuat dirinya lebih baik dari tahun yang ditinggalnya.

22 tahun telah berlalu
Tak tau bagaimana usia menemanimu..
Ditahun ke-23 Semoga Tuhan selalu memberkati hidupmu. Amiin...

*Hambamu yang saling mendamba

Masjid Basis Pergerakan dan Upaya Menjemput Kebahagian*

Saturday, 19 September 2015


Banyak hal yang bisa dilakukan saat bulan penuh berkah tiba. Seperti yang digagas oleh kawan-kawan seperjuangan di organisasi ekstra kampus berbasis keislaman. Kami ingin nuansa berbeda dari Ramadan sebelumnya. Jika biasanya kami menghabiskan sebagian besar waktu untuk menjadi mustami’ dari pengajian di pesantren, duduk manis sambil menggenggam senjata pamungkas, pena dan kitab. Jika bosan menggoda, ngusilin teman yang menahan kantuk akut sampai terombang-ambing adalah agenda yang mengasyikkan. Atau bersorak ria karena joke dari para ustadz. Mentok kalau bosan sudah di ujung umbun-umbun, tidur di tempat adalah pilihan yang telak.

Pesantren menjadi kawah candradimuka dalam hidup kami. Di sana kami dididik untuk menjadi insan swasembada dan swapraja namun tetap kordial, santun, supel, dermawan, murah hati, berani dst. Bukan sembarang kawah yang mampu menciptakan manusia setengah dewa seperti pesantren. Babad nusantara dan historiografi yang ditulis oleh historikus membuktikan bahwa hanya pesantren yang becus melahirkan ulama dan umara’ yang adil dan kaya akan wisdom dalam jiwanya. Sehingga takaran antara soul keilmuan (‘ilm) dan spiritual (addin) tampil seimbang. Tentu kita tak gebyuk uya roto. Artinya tak semua yang belajar di pesantren sukses menjadi setengah dewa, atau separuh malaikat.

Meneladani Dwi Tunggal Nahdlatul Ulama*

Wednesday, 29 July 2015


Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Ulama, dan Nahdlatul Ulama. Dalam ilmu nahwu, pengulangan kata adalah salah satu bentuk taukid (penegasan) ketika seseorang ingin mempertegas apa yang ingin dia sampaikan. Di kalangan pesantren tak asing dengan istilah ini. Bahasa familiar, pengulangan berupa lafadz seperti ini disebut taukid lafdzi. Sesuai dengan fungsinya, taukid berarti membuang keraguan, menghindari bias atau membuang skeptisme yang muncul pada mukhotob (pendengar). Mohon maaf, saya tidak sedang memberikan pelajaran tentang nahwu. Tapi hanya ingin memperjelas bahwa saya cinta Nahdlatul Ulama.

Berbicara tentang Nahdlatul Ulama tak bisa dipisahkan dengan sosok Hadratussyaikh – KH. Wahab Hasbullah – KH. Bisri Syansuri. Tiga serangkai Jombang yang memplopori Jamiah Islam terbesar di Indonesia, NU. Menyadur ucapan Sang Kiai “Siapa yang mau mengurusi NU, saya anggap ia santriku. Siapa yang jadi santriku. Saya doakan husnul khatimah beserta anak-cucunya.” Rasa cinta itu pula yang membentuk harmoni antara ketiga tokoh itu. Termasuk di dalamnya sikap Tawadhu’ satu sama lainya.

Filosofi Wallahu A’alam bis Showab*

Tuesday, 23 June 2015


Tradisi tawadlu’ adalah sifat yang diwariskan kuat oleh para ahlul ilmi yang bertranmisi dari Baginda Rosul shallohu alaihi wassalam. Hal ini menjadi salah satu ciri khas yang dimiliki oleh the founding fathers Nahdlatul Ulama, bahkan sampai kepada jamaahnya. Kita sering mendengar bahwa para Kiai NU itu sangat tawadlu’. Bahkan untuk urusan jabatan (para kiai terdahulu) berebut menolak dan mengutamakan orang lain.

Jika kalian pernah mondok di sebuah pesantren tentunya tidak asing dengan ucapaan Wallahu a’alam bis showab. Kepalang suka ketika mendengar untaian kata itu terlontar dari qori’ atau ustadz atau kiai. Itu menjadi pertanda bahwa pengajian usai.

Wallahu a’alam bis showab mempunyai arti “dan hanya Allah yang mengetahui kebenaran”. Sekilas hanya ungkapan biasa. Tapi muncul makna yang kuat. Adigium pamungkas itu berarti sangat mendalam, yang mungkin tak banyak orang sungguh memahaminya. Yaitu ketawdlu’an.

Krisis Pernikahan di Kalangan Pemuda*

Tuesday, 9 June 2015

Jika boleh mengibaratkan, ada dua instansi pemerintahan yang mempunyai persepsi berlawanan arus. Memercikkan butiran kebahagian dalam dua insan yang menyatu, KUA. Dan mengurai kesyahduan dalam bingkai kemesraan, Pengadilan Agama. Belum mudeng ya? KUA – Idkholus as-surur (memberikan kebahagian) dan PA – Ikhrojus as-surur (mencabut kebahagian). Itu hanya sebagian persepsi masyarakat yang saya bahasakan. Dalam kenyataanya tidak melulu seperti itu kog. Itu hanya persepsi bukan bukti. Toh setiap manusia boleh memberikan kesan, karena kesan tak bisa dipersalahkan. Orang bijak mengatakan “kita sering melihat hutan, bukan pohon”.

Setiap pernikahan pastilah sesuatu yang membahagiakan. Lalu apa arti nikah? Menurut KBBI, nikah adalah ikatan (akad) yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Seperti yang dijelaskan oleh Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifayah al-Akhyar, dikatakan: nakahat al-asyjar, pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.

Dalam al-Quran sendiri, kata nikah kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual. Contoh dengan arti akad nikah: fankihu maa thoobalakum... (an-Nisa’: 3)  sedangkan yang memiliki arti hubungan seksual: faain thollaqoha falaa tahillu lahu min ba’di hatta tankiha... (al-Baqarah: 230). Lalu bagaimana membedakan antara nikah yang bermakna akad nikah dan nikah yang berarti hubungan seksual?

Cerpen Oh Cerpen*

Monday, 8 June 2015


Sebuah SMS muncul dan mengejutkanku saat kongkow di warung kopi langganan, Jopok. Sudah menjadi kebiasaan bagiku menghabiskan sebagian 24 jam untuk duduk dan serawungan di Jopok, walau seringnya ngerasani. Mulai dari yang sepele hingga permasalahan elit di negeri ini. Semua kami tumpah ruahkan di atas meja persegi empat bersama kopi, Jopok.

Nada dering singkat berbunyi, sepertinya familiar sekali suara itu. Kutenggok Hpku yang retak membentuk tiga garis menyebar, vertikal dan horizontal tepat di tengah layarnya. Meski sering jatuh dari pelukakanku, hp ini tampak selalu kuat dan tegar. Baru kali ini dia luka, mungkin dia protes dan lelah hingga berani melukai dirinya, sebagai bentuk protes terhadapku.

Satu pesan diterima, ujar Hpku. Seakan masih tetap setia melayaniku meski dalam luka. Cepat kubuka SMS itu. “Jangan lupa, tanggal 26 jadwal kamu menulis cerpen.” Asemm, ujarku dalam hati. Ini pasti Si-penadah tulisan. Benar dugaanku, dia, Semar. Pesan itu tak segera aku balas agar keamanan diriku terjaga dari terornya.

Menciptakan Kloning Gus Dur*

Sunday, 3 May 2015


Judul Buku          : Mata Penakluk Manakib Abdurrahman Wahid
Penulis                : Abdulloh Wong
Pnerbit                : Expose, Jakarta
Cetakan               : Pertama, 2015
Tebal buku           : 295 halaman
ISBN                     : 978-602-7829-24-4
Harga buku           : 54.000,-

Hampir semua pemimpin memiliki masa lalu pelik dalam hidupnya. Entah memang sudah rencana Tuhan demikian rupa sebagai suratan dalam menapak kehidupan. Abdurrahman ad-Dakhil bisa disebut sebagai satu contoh. Sebelum ia dikenal sebagai guru bangsa, sekaligus bapak pluralisme Indonesia –tokoh penuh kontroversi-, dia memiliki masa lalu yang pilu dan berliku. Sudah banyak lembaran sejarah yang dikodifikasi tentang ad-Dakhil ini. Namun belum banyak yang meraciknya dalam balutan cerita sarat emosional.

Tak heran, ketika Abdulloh Wong –seorang seniman- mengimplementasikan mata hatinya untuk menyusun kata demi kata dalam mengisahkan Gus Dur muda. Terbukti dengan diksi “aku” menjadi pilihan yang berani sebagai subyek yang mewakili cucu Hadratus Syaikh itu. Tak banyak buku novel biografi, mungkin hanya ini satu-satunya novel Biografi tentang Gus Dur.

Hal itulah yang menjadikan Abdulloh Wong harus melakukan riset seluruh buku tentang Abdurrahman ad-Dakhil dan melakukan rihlah mistis ke makam para Ulama, termasuk pesarean di Pesantren Tebuireng. Bahkan untuk mengambarkan ihwal Gus Dur muda secara ciamik, Wong menutup matanya dengan kain hitam untuk merasakan keadaan psikis bapak presiden ke-4 RI itu dalam menjalani kesehariannya.
 

Most Reading

Sidebar One