Tradisi tawadlu’ adalah
sifat yang diwariskan kuat oleh para ahlul ilmi yang bertranmisi dari
Baginda Rosul shallohu alaihi wassalam. Hal ini menjadi salah satu ciri
khas yang dimiliki oleh the founding fathers Nahdlatul Ulama, bahkan sampai
kepada jamaahnya. Kita sering mendengar bahwa para Kiai NU itu sangat tawadlu’.
Bahkan untuk urusan jabatan (para kiai terdahulu) berebut menolak dan
mengutamakan orang lain.
Jika kalian pernah mondok di
sebuah pesantren tentunya tidak asing dengan ucapaan Wallahu a’alam bis
showab. Kepalang suka ketika mendengar untaian kata itu terlontar dari qori’
atau ustadz atau kiai. Itu menjadi pertanda bahwa pengajian usai.
Wallahu a’alam bis showab
mempunyai arti “dan hanya Allah yang mengetahui kebenaran”. Sekilas hanya ungkapan biasa. Tapi muncul makna yang kuat. Adigium pamungkas itu berarti sangat mendalam, yang mungkin tak banyak orang sungguh memahaminya. Yaitu
ketawdlu’an.
Suatu ketika beberapa sahabat Hasan
al-Bashri menyebutkan beberapa definisi tawadlu’, namun beliau diam saja. Saat
definisi semakin banyak disebut, beliau mengatakan,”Aku menilai kalian telah
banyak menyebut apa itu tawadlu’.”
Akhirnya mereka balik bertanya,
“Apa tawadlu’ itu menurut Anda?”
Al Hasan Al Bashri menjawab,
“Seorang keluar dari rumahnya, maka ia tidak bertemu
seorang Muslim, kecuali
mengira bahwa yang ditemui itu lebih baik dari dirinya.”[1]
Apa yang disebutkan Hasan Al
Bashri mirip dengan nasihat Imam Al Ghazali mengenai tawadlu’. Beliau
mengetakan,”Janganlah engkau melihat kepada seseorang kecuali engkau menilai
bahwa ia lebih baik darimu. Jika melihat anak kecil, engkau mengatakan,’Ia
belum bermaksiat kepada Allah sedangkan aku telah melakukannya, maka ia lebih
baik dariku’. Jika melihat orang yang lebih tua, engkau mengatakan, ‘Orang ini
telah melakukan ibadah sebelum aku melakukannya, maka tidak diragukan bahwa ia
lebih baik dariku.’ Dan jika ia melihat orang alim (pandai), maka ia
berkata,’Ia telah diberi Allah ilmu lebih dibanding aku dan telah sampai pada
derajat yang aku belum sampai kepadanya.’ Kalau ia melihat orang bermaksiat, ia
berkata, “Ia melakukannya karena kebodohan, sedangkan aku melakukannya dan tahu
bahwa perbuatan itu dilarang. Maka, hujjah Allah kepadaku akan lebih kuat.’”[2]
Ketawadlua’an para ulama
terdahulu menunjukkan sebuah arti keikhlasan yang mendalam. Dalam setiap
mukaddimah penulisan kitab selalu termaktub “Jika tanpa ma’unah dan
rahmat Allah tentulah penulisan kitab ini tidak akan selesai,”. Atau tertulis
di akhir kitab tersebut dengan kata al-fakiir, atau Khodimul ma’had sebagai
awalan dari nama muallif atau mushonif kitab, seperti yang pernah
dituliskan oleh Hadratussyaikh dalam kitabnya. Bahkan kitab yang berhasil
ditulis bukan disebut sebagai karya atau tulisan, melainkan kutipan-kutipan
yang berhasil saya kumpulkan.
Hal semacam itu sering
dicontohkan oleh pendahulu Islam. Begitu diangkat menjadi khalifah, yang
pertama dilakukan Umar Ibn Abdul Aziz, bukan berkonsultasi pada yang lain,
tetapi kepada Hasan al-Bashary. Seorang tokoh ulama yang mumpuni yang dijuluki
Syeikhul Islam dan Sayyidut Taabi’ien yang ketika wafat pada tahun 110 H tak
ada seorang pun penduduk Bashrah yang tak keluar melayatnya.
Pemimpin sekaliber Umar Ibn Abdul
Aziz yang dijuluki Umar kedua karena keadilannya dan begitu arif hingga
dijuluki khalifah Rasyidin kelima. Dia bukan pemimpin yang dipilih langsung
oleh rakyatnya secara demokratis, tapi dicomot dari lingkungan ningratnya.
Andai saja Umar Ibn Abdul Aziz ingin menjadi kaya raya tentunya hal yang sangat
mudah. Tapi bukan uang yang dicari tapi nasihat untuk pribadinya dan bekal memimpin
bangsa.
Setelah meminta nasihat kepada
Hasan al-Bashary, dia tak menjadikan nasihat itu sebagai alat promosi dan
janji-janji suci kepada rakyatnya untuk memperoleh simpati. Nasihat itu
dijadikannya pedoman untuk menjadi pemimpin yang adil dan dicintai oleh
rakyatnya. Hingga terwujudlah negara yang kaya raya hingga tak ada satu orang
pun mau menerima zakat dari orang lain. Dan menjadi negara yang aman dari
tindak kriminal.
Pemimpin atau penguasa yang baik
adalah mereka yang ditaati karena dicintai, bukan karena ditakuti atau diincar
manfaatnya. Sekali lagi, awal dari kepemimpinan bukan janji dan umbar sumpah
tapi kerendahan dan ketawadluan.
Cerita di atas yang mungkin
seperti sebuah dongeng karena hampir tidak mungkin menemui hal sedemikian rupa.
Kerendahan dan ketawdluan juga terkandung dalam Wallahu a’alam bis showab, menunjukkan
kerendahan diri yang tinggi. Setiap selesai menyampaikan sebuah ilmu selalu
dipungkasi dengan adigium tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang
disampaikan atau diajarkan mungkin saja ada kekeliruan. Sebagus dan sebaik
apapun ilmu seseorang, dengan menisbatkan diri bahwa yang mengetahui hakikat
kebenaran hanya Tuhan adalah ke-tawadlu’an yang paripurna. Paling tidak,
mengucapkannya adalah bentuk latihan menumbuhkan sifat tawadlu’ yang mulai
hilang saat ini.
Suatu ketika Ibnu Ruslan
menyelesaikan penulisan kitab Zubad di atas sebuah kapal yang berlayar
di laut lepas. Pada saat kitab Zubad selesai ditulis, dia mengikatkan
batu di bagian atas dan bawah kitab itu. dia ingin melempar kitab itu ke laut
meskipun orang-orang di kapal saat melihatnya segera mencegahnya, namun dia
tetap bersikukuh dengan niatnya. “Biarkanlah. Jika kitab karanganku ini
benar-benar ditulis ikhlas karena Allah, air laut tidak akan mampu merusaknya”,
katanya mantap. Akhirnya ombak berhasil membawa kitab tersebut ke tepi laut,
dan seorang nelayan yang menemukan menyerahkan kitab kepada salah seorang ulama
di daerah itu dan akhirnya disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Polemik Rais Aam yang muncul
beberapa waktu terakhir menjadi perdebatan hangat. Termasuk di dalamnya apakah
model Ahwa (ahlul halli wal aqdi) masih relevan di zaman sekarang. Yang jelas,
jabatan Rais Aam itu bukan jabatan seperti presiden atau semacamnya yang patut
dipemilukan. Mengutip sebuah kisah ketawadluan.
Kiai Wahab Hasbullah enggan
menerima jabatan Rais Akbar selama KH. M. Hasyim Asyari masih hidup. Bahkan
setelah wafat Hadratussyaikh, Rais Akbar diganti namanya menjadi Rais Aam. Kiai
sekaliber Mbah Wahab masih merasa minder dan tak pantas menyandang predikat
itu. Setali dua uang, adik iparnya, KH. Bisri Syansuri juga demikian. Ketika
dicalonkan oleh mayoritas kiai dan muktamirin untuk menggantikan Mbah Wahab
sebagai Rais Aam, dengan tegas beliau menjawab, “Selama masih ada Kiai Wahab
saya hanya siap menjadi wakilnya.”
Hal senada juga dipahami benar
oleh Almaghfurlah KH. Sahal Mahfudz, mantan Rais Aam. Sejarah mengungkapkan
bahwa Mbah Sahal sebenarnya telah menjadi Rais Aam sejak Munas di Lampung
ketika Kiai Alie Yafie mundur. Karena sebelumnya beliau sebagai wakil Rais Aam.
Tapi karena suatu hal, Mbah Sahal ndak purun (menolak). Akhirnya wakil-wakil di
bawah beliau juga tidak ada yang mau. Untungnya ada kiai yang sangat ikhlas,
KH. Ilyas Ruchiyat dari Cipasung Jawa Barat. “Beliau lalu bicara pelan-pelan,
‘ini kalau ndak ada yang mau kan vakum. Organisasi sebesar ini ndak ada pejabat
Rais Aam-nya. Beliau mengucapkan dengan penuh keikhlasan. Kalau ndak ada yang
mau, ya sudah saya juga ndak apa-apa,”.
Peristiwa serupa juga dialami Gus
Mus yang ketika itu menjabat sebagai wakil Rais Aam. Saat itu Yai Sahal yang
jadi Rais Aam. Menurut AD/RT, ketika Rais Aam berhalangan hadir atau sedang
udzur maka peran Rais Aam diwakilkan pada wakilnya. Karena tidak tahu peraturan
itu, Gus Mus terpaksa menggantikan Yai Sahal. Kalau saja beliau tau ada
peraturan semacam itu, tentunya saya tidak mau menjadi wakil, ujar Gus Mus.
Pada hakikatnya, kita merindukan
seorang pemimpin yang memahami filosofi wallahu a’alam bis showab.
Mendambakan pemimpin yang tampil sedikit sederhana dan tawadlu’. Bukan yang menganggap
dirinya mampu dan membualkan ocehan. Lha sekaliber Mbah Wahab, Mbah Bisri, Mbah
Sahal saja berebut tidak mau, malah sekarang menjadi rebutan.
Semoga saja cerita yang terdengar
seperti dongeng mampu menghibur para pemimpin kita dan mau menenggok lembaran
dongeng nenek moyang kita terdahulu. Bukan hanya untuk dipidatokan tapi
dijadikan pedoman dalam memimpin umat. Sekali lagi Wallahu a‘alam bis
showab!
No comments:
Post a Comment