Judul Buku : Mata Penakluk Manakib Abdurrahman Wahid
Penulis : Abdulloh Wong
Pnerbit : Expose, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2015
Tebal buku : 295 halaman
ISBN : 978-602-7829-24-4
Harga buku : 54.000,-
Hampir semua pemimpin memiliki
masa lalu pelik dalam hidupnya. Entah memang sudah rencana Tuhan demikian rupa
sebagai suratan dalam menapak kehidupan. Abdurrahman ad-Dakhil bisa disebut
sebagai satu contoh. Sebelum ia dikenal sebagai guru bangsa, sekaligus bapak
pluralisme Indonesia –tokoh penuh kontroversi-, dia memiliki masa lalu yang
pilu dan berliku. Sudah banyak lembaran sejarah yang dikodifikasi tentang
ad-Dakhil ini. Namun belum banyak yang meraciknya dalam balutan cerita sarat
emosional.
Tak heran, ketika Abdulloh Wong
–seorang seniman- mengimplementasikan mata hatinya untuk menyusun kata demi
kata dalam mengisahkan Gus Dur muda. Terbukti dengan diksi “aku” menjadi
pilihan yang berani sebagai subyek yang mewakili cucu Hadratus Syaikh itu. Tak
banyak buku novel biografi, mungkin hanya ini satu-satunya novel Biografi
tentang Gus Dur.
Hal itulah yang menjadikan
Abdulloh Wong harus melakukan riset seluruh buku tentang Abdurrahman ad-Dakhil
dan melakukan rihlah mistis ke makam para Ulama, termasuk pesarean di
Pesantren Tebuireng. Bahkan untuk mengambarkan ihwal Gus Dur muda secara
ciamik, Wong menutup matanya dengan kain hitam untuk merasakan keadaan psikis
bapak presiden ke-4 RI itu dalam menjalani kesehariannya.
Dari kerja keras Abdulloh Wong
ini, buku Mata Penakluk bisa disebut sebagai biografi genre-fiksi terbaik.
Sebab, Wong berhasil menggambarkan secara mendalam masa kecil, remaja dan
kemudian jejak karier Abdurrahman Wahid sebagai tokoh sentral keagamaan,
presiden Indonesia dan menyisipkan humor renyah yang menjadi ciri khasnya.
Gus Dur lahir dari pasangan KH.
Wahid Hasyim dan Solichah yang memiliki garis keturunan mulia dari Hadratus
Syaikh Hasyim Asyari. Dia sering kali mengeluhkan cemooh dan hinaan para
tetangga yang menghinanya karena sikapnya yang nakal (hal. 117). Tak salah,
kalau para tetangga berpendapat dia anak nakal, sebab sejak kecil Gus Dur gemar
sekali terhadap wayang dan nonton bioskop. Ya memang sejak kecil nggak bisa
diam. Sulit dituturi padahal matanya blerengen (hal. 28)
Sejak kecil, ad-Dakhil kerap
diajak ayahnya untuk berkunjung ke toko buku. Ya sekedar untuk melihat-lihat
atau membelinya. Pak Wahid pula yang berperan penting dalam tumbuh kembang
intelektualitas Dur muda. Dia memiliki ingatan yang kuat sejak muda dan
mencintai sastra. Dari bapaknya lah pemuda berkacamata ini sering melahap buku-buku yang tidak umum
dibaca oleh anak seusianya. Novel karya Charles Dickens (Oliver Twist), F.
Scott Fitzgerald (The Great Gatsby), dan Karl Marx (Das Kapital) menjadi
santapanya (hal. 152).
Acap kali Yai Wahid bercerita
kepada putranya tentang berbagai hal. Tentang Thoriq bin Ziyad, sejarah gula di
Indonesia sampai sejarah Mataram. Ayah adalah inspirator terbesar dalam hidup
Guru Bangsa itu. Tetapi, sang inspirator itu meninggalkan Gus Dur di usianya
yang menjelang remaja, 13 tahun. Saat itu hujan turun semakin lebat dan
diiringi kabut tebal menutupi jalanan yang basah diguyur air dari langit.
“Sepertinya kita sudah masuk daerah Cimindi” ujar Yai Wahid. “Benar, Pak.
Apalagi kabutnya lumayan tebal” Usman (sopir) menjawab dengan sedikit
melebarkan matanya. Tiba-tiba mobil mengalami selip dan mobil yang tak
terkendali menampar truk dari arah depan dengan kecepatan tinggi, brakk! (hal.
33-34).
Rupanya jalan hidup Gus Dur tidak
mulus. Pasca wafat ayahanda, dia dikirim oleh Bu Solichah untuk belajar di
Yogyakarta. Dititipkan ke pak lek Junaidi (seorang Muhammadiyah). Disinilah
awal penempaan yang sesungguhnya bagi jiwa muda bapak pluralisme ini. Bertemu Ki
Wongso –ahli perwayangan- yang memberinya wejangan mendalam tentang Semar.
Semar itu lelaki, tapi berpayudara seperti perempuan. Ia sangat memesonakan
hati, padahal rupa atau wajahnya jelek. Ia bukan manusia biasa. Ia penjelmaan
Dewa Ismaya dan Suralaya (hal. 114). Mas Dur –begitu sapaanya- juga belajar
kepada Kiai Ali Maksum di Krapyak.
Jika kita analisa, ada hal
menarik dari masa kecil Gus Dur. Dari analisa itu kita bisa melakukan
eksperimen dengan memproduksi “kloning” The Next Gus Dur. Bagaimana caranya? Semenjak
kecil Abdurrahman muda sangat cinta buku. Membiasakan seorang anak membaca buku
sejak dini akan memasok keilmuan luas pada otaknya. Seorang pepatah mengatakan,
Jika ingin mengenal dunia maka bacalah. Kadar intelektualitas manusia tergantung
seberapa banyak dia melahap buku. Bahkan perintah pertama saat titah kenabian
turun adalah Iqro’. Demikian tentang peradaban Islam, tanpa membaca,
darimana kita bisa tahu tentang hukum-hukum syariat yang ditulis oleh 4 maestro
fiqih (Syafii, Hanafi, Hambali, dan Maliki).
Untuk melahirkan manusia seperti
Abdurrahman ad-Dakhil, kita perlu mencetaknya sejak dini. Kiblat sepak bola
dunia mengarah pada negara Eropa. Talenta hebat lahir di benua biru itu. Sebut
saja Cristiano Ronaldo, Eden Hazard, Marco Reus, dan seterusnya. Kenapa
mayoritas pemain berbakat dilahirkan dari sana? Hampir seluruh pelatih dan
pengamat bola menjawab sepakat, “karena pembinaan bola dilakukan sejak usia
dini”.
Orang Jepang menghabiskan 8 jam
dalam sehari untuk membaca. Kita kalikan saja, jika sejak umur 7 tahun (patokan
anak mampu membaca dengan lancar) hingga akhir hayatnya, 60 tahun misalkan. Berarti
53 tahun waktu hidup. 1 tahun = 365 hari. Maka 53 tahun sama dengan 19.345 hari. Selanjutnya 19.345
hari dan 8 jam/harinya digunakan untuk membaca, berapa juta buku yang bisa
dihabiskan anak kita jika saja sejak kecil dipelihara untuk selalu membaca?
Jawabannya banyak, banyak sekali.
Gus Dur saja, hampir setiap hari
melahap buku. Tiada hari tanpa membaca. Kecuali ketika pengelihatannya sudah
mengalami disfungsi. Dia berhenti membaca. Sebagai gantinya dia membaca melalui
alat pendengar –semacam rekaman- buku. Atau meminta orang lain untuk membacakan
buku.
Faktor utama dan penting untuk
keberhasilan kloning Gus Dur adalah peran seorang ayah dalam membangun jiwa dan
keilmuaan anaknya. Dengan metode tell story yang diterapkan Yai Wahid
pada Dur muda adalah salah satu kunci luasnya keilmuan guru bangsa itu. Sebab
di masa pertumbuhan –anak- lebih senang mendengar cerita. Tentu saja cerita
yang bermutu, baik dan luas tidak bisa disampaikan tanpa membaca buku.
Buku berjudul Mata Penakluk:
Manakib Abdurrahman Wahid ini lebih banyak mengisahkan masa hidup Gus Dur saat
muda. Terlebih hobinya dalam membaca buku yang tampak menonjol. Jadi karya ini
hanya sebuah pengantar untuk menelisik sosok fenomenal dari pesantren yang
mendunia. Sementara itu, pembaca yang ingin lebih jauh lagi mengenai
Abdurrahman Wahid setelah masa penggodokan di kawah Candradimuka, bisa membaca
buku Biografi Gus Dur (Greg Barton). Dan untuk memperlengkap khazanah ini bisa
juga membaca Ensiklopedi Gus Dur (6 Jilid). Dengan banyaknya literasi tentang Gusdurianisme,
diharapkan pembaca dapat mengenal secara utuh tentang KH. Abdurrahman Wahid
–sosok kontroversial yang begitu unik, lucu, sekaligus luar biasa.
*) Muhammad Septian Pribadi,
redaktur Majalah Tebuireng dan aktif di Sanggar Kepoedang (Kumpulan Penulis
Muda Tebuireng).
No comments:
Post a Comment