Dari kiri: Mbah Wahab, Mbah Bisri dan Buya Hamka |
Pemandangan hitam dan putih
selalu tersaji menjelang perayaan Natal yang jatuh tiap tanggal 25 Desember.
Media cetak dan daring (online) akan dipenuhi sesajian tentang boleh atau
tidaknya mengucapkan”Selamat Hari Natal” untuk penganut Kristiani. Kontroversi
ini selalu muncul, entah memang sengaja dimunculkan atau sekadar alarm penyegar
dan upaya preventif untuk umat Islam agar tidak melanggar koridor syariah yang
ditetapkan Tuhan.
Awalnya masyarakat resah dengan
varian opini perayaan Natal. Rakyat khawatir, ikut serta membantu sebagai wujud
tenggang rasa akan mencederai kepercayaannya. Apalagi ada sebagian kelompok
yang menyerukan PNB (Perayaan Natal Bersama). Menanggapi keresahan itu,
kemudian MUI memfatwakan haram mengikuti perayaan Natal.
Fatwa itu dicetuskan oleh Buya
Hamka pada 1 Jumadil Awal 1401 atau 7
Maret 1981 tentang Perayaan Natal Bersama (PNB). Fatwa tersebut
dilatarbelakangi fenomena yang kerap terjadi sejak 1968 ketika Hari Raya Idul
Fitri jatuh pada 1-2 Januari dan 21-22 Desember. Lantaran perayaan Lebaran
berdekatan dengan Natal, banyak instansi menghelat acara perayaan Natal dan
Halal Bihalal bersamaan. Ceramah-ceramah keagaman dilakukan bergantian oleh
ustadz, kemudian pendeta. Menurut Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, Hamka mengecam kebiasaan itu bukan toleransi namun
memaksa kedua penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik. Hamka juga menilai
penganjur perayaan bersama itu sebagai penganut sinkretisme.