Update

Cerpen Oh Cerpen*

Monday 8 June 2015


Sebuah SMS muncul dan mengejutkanku saat kongkow di warung kopi langganan, Jopok. Sudah menjadi kebiasaan bagiku menghabiskan sebagian 24 jam untuk duduk dan serawungan di Jopok, walau seringnya ngerasani. Mulai dari yang sepele hingga permasalahan elit di negeri ini. Semua kami tumpah ruahkan di atas meja persegi empat bersama kopi, Jopok.

Nada dering singkat berbunyi, sepertinya familiar sekali suara itu. Kutenggok Hpku yang retak membentuk tiga garis menyebar, vertikal dan horizontal tepat di tengah layarnya. Meski sering jatuh dari pelukakanku, hp ini tampak selalu kuat dan tegar. Baru kali ini dia luka, mungkin dia protes dan lelah hingga berani melukai dirinya, sebagai bentuk protes terhadapku.

Satu pesan diterima, ujar Hpku. Seakan masih tetap setia melayaniku meski dalam luka. Cepat kubuka SMS itu. “Jangan lupa, tanggal 26 jadwal kamu menulis cerpen.” Asemm, ujarku dalam hati. Ini pasti Si-penadah tulisan. Benar dugaanku, dia, Semar. Pesan itu tak segera aku balas agar keamanan diriku terjaga dari terornya.
Srupuutt, suara teh hangat yang mulai masuk rongga mulutku. Lumayanlah, seteguk cairan berwarna coklat kekuningan itu mampu memberiku sensasi kalem, sedikit tenang. Konon menurut orang Cina, teh mampu menyeimbangkan Yin dan Yang. Aku percaya saja, sekarang Yin dan Yangku sedikit bergetar.

Sruputt, sruputt, sruputt, kali ini bukan tegukan teh yang kuminum. Tapi lendir hidung yang menerobos keluar rongga. Beberapa hari terakhir, cuaca dingin mulai menusuk tulang-tulangku. Bersin terpaksa menjadi musuhku. Termasuk umbel yang deras menghujam ke tanah, tertarik gravitasi. Apalagi hidungku ini besar dan mancung. Jika sudah demikian, tisu adalah sahabat terbaikku.

Sama seperti umbel yang menjelma sebuah teror, SMS Semar pun demikian. Membuatku tak leluasa menghirup oksigen. Sebenarnya, Semar bukan masalah terbesarnya, tapi CERPEN. Aku terlalu sering dibuat kepalang oleh cerpen. Bayangkan saja, setiap kali sekolah menulis di padepokanku digelar, semua pertanyaan yang diajukan adalah tentang cerpen. Terus aku harus menjawab apa?

Itu pertama. Kedua, hegemoni cerpen berhasil merasuki pikiran para anak petani yang ingin belajar menulis. Bayangan mereka, jika bisa menulis cerpen seseorang akan cepat masyhur. Apalagi bisa menulis novel. Buku mereka terjual laris, dibedah dimana-mana, dijadikan film, diundang talk show dan seterusnya. Sayangnya, itu khayalan. Karena aku tak paham tentang cerpen, apalagi novel. Jadi, jangan tanya saya tentang cerpen!

Terakhir adalah Inspirasi. Semar menjadi teror bagiku dan tentu aku tak menyukainya. Andai saja dia bukan agen cerpen pasti aku akan memberinya makanan kesukaanya, buah pisang idamannya, dan Es Degan favoritnya... ah sudahlah, terlalu banyak berandai akan membuat haluan cerpen pada khayalanku. “Loh, itu kan sudah bisa jadi inspirasi menulis cerpen mas,” sahut Imah membuyarkan curhatanku. “Ah.. kamu ini, mana bisa curhatanku menjadi cerpen. Jangan ngaco deh!” Sergahku padanya.

Imah adalah wanita tangguh yang amat mencintai petualangan. Sampai-sampai dia minta ayahnya dibelikan sepeda motor cross untuk mendaki gunung, gila kan? Aku yang cowok aja belum pernah terbersit ingin menaiki raja tanah liat itu. Lebih ekstremnya lagi, dia adalah traveler sejati.

Hampir setiap bulan pergi ke luar kota untuk mencari gunung, laut, dan hutan hanya untuk disowani. Malang, Lamongan, Bawean, Panggandaran, Pacitan dan masih banyak lainya, berhasil dia jajah. Bahkan sempat nginep juga.

“Kamu itu nggak ada kerjaan ta di rumah kog jalan-jalan gak jelas gitu?” tanyaku. “Cuman iseng aja pengen jalan-jalan”, jawabnya sambil senyam-senyum. Lha...

Terkadang aku merasa minder dengan diriku sebagai lelaki. Yang lebih sering menghabiskan waktu di padepokan. Imah yang sudah menjelajah ratusan tempat aneh di Nusantara mengingatkanku pada Hua Mulan, legenda perempuan maskulin yang berasal dari Tionghoa. Seorang wanita yang diharapkan tampil feminin oleh keluarganya namun di luar dugaan Mulan ikut program wajib militer. Sosok yang kuat, tangguh, dan tak kenal takut. Tapi Imah sedikit berbeda, sedikit.

Suatu ketika Imah berkendara dengan sepeda motornya yang sedikit kusam. Bensin hampir habis dan di dompetnya hanya ada selembar kertas bergambar Tuanku Imam Bonjol. “Semangat Tuanku melawan penjajahan itu tak akan berguna jika ditukar dengan bensin di zaman sekarang.” Lamunnya di atas motor yang melaju statis. Ia berencana pulang karena matahari mulai memicingkan sinarnya di ufuk barat.

Di pertengahan jalan yang diapit oleh rerindangan pohon dan hamparan padi yang masih hijau, seseorang melambaikan tangan padanya di bibir jalan. Seakan memberikan tanda untuk berhenti dan menepi.

“Mau kemana dek?” tanya Imah saat menghentikan kendaraanya. “saya pengen nebeng ke arah padepokan yang di sana.” Sambil mengacungkan jemarinya ke arah Barat. “Kebetulan, aku juga melewati padepokan itu.” Tuturnya dalam hati. “Ya sudah, boleh saja. Silahkan naik” Jawab Imah, menyetujui permintaan lelaki berpostur mungil itu. Umurnya sekitar 6 tahun, mungkin masih kelas 3 SD.

Tangan lelaki itu mencolek punggung tegap nan tegar Imah yang sedang mengendarai sepeda. Imah baru tersadar setelah tiga kali bocah itu mencolek punggungnya. “Ada apa dek?” tanya Imah. “Aku minta uang buat jajan.”Siall..” umpat Imah yang tertahan dalam rongga mulutnya. Bensin sekarat, uang hanya lima ribu rupiah, eh diminta juga.
Bagaimana ini, pikirnya kebingungan. Dengan terpaksa Imah memberikan satu-satunya kertas berharga dari dompetnya untuk bocah itu.

“Dek ini sudah sampai, silahkan turun.” Dia turun tanpa mengucapkan satu kata pun, tersenyumpun tidak apalagi terima kasih. Imah memandanginya. Tatapnya kosong dan menakutkan. Wajahnya aneh, wajahnya tak seperti bocah pada umumya. Aku baru menyadarinya dan bulu kudukku berdiri.

“Gimana mas ceritaku? Bisa kamu jadikan bahan cerpen kan?” Seloroh Imah mengejutkanku. Ee.. ee.. ee.. terusannya gimana mah? Jawabku sambil tergagap. “Mau tau cerita selanjutnya mas? Bayar donk, gak ada yang gratis di dunia ini, karena kelanjutan ceritanya adalah keajaiban.” “Ooh... dasar semprul.” Umpatku. Gimana aku bisa menulis cerpen jika ceritanya terhenti. Aku tertunduk, aku tak bisa menulis cerpen lagi. Cerpen oh cerpen. Sialan kau cerpen!


*Muhammad Septian Pribadi, alumnus PonPes al-Amin Mojokerto. Sekarang menempuh pendidikan di Ma’had Aly Hasyim Asyari Jombang dan aktif di Sanggar Kepoedang (Kumpulan Penulis Muda Pesantren Tebuireng) Pernah dimuat di Tebuireng.org (http://tebuireng.org/cerpen-oh-cerpen/)

No comments:

Post a Comment

 

Most Reading

Sidebar One