Update

Meneladani Dwi Tunggal Nahdlatul Ulama*

Wednesday 29 July 2015


Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Ulama, dan Nahdlatul Ulama. Dalam ilmu nahwu, pengulangan kata adalah salah satu bentuk taukid (penegasan) ketika seseorang ingin mempertegas apa yang ingin dia sampaikan. Di kalangan pesantren tak asing dengan istilah ini. Bahasa familiar, pengulangan berupa lafadz seperti ini disebut taukid lafdzi. Sesuai dengan fungsinya, taukid berarti membuang keraguan, menghindari bias atau membuang skeptisme yang muncul pada mukhotob (pendengar). Mohon maaf, saya tidak sedang memberikan pelajaran tentang nahwu. Tapi hanya ingin memperjelas bahwa saya cinta Nahdlatul Ulama.

Berbicara tentang Nahdlatul Ulama tak bisa dipisahkan dengan sosok Hadratussyaikh – KH. Wahab Hasbullah – KH. Bisri Syansuri. Tiga serangkai Jombang yang memplopori Jamiah Islam terbesar di Indonesia, NU. Menyadur ucapan Sang Kiai “Siapa yang mau mengurusi NU, saya anggap ia santriku. Siapa yang jadi santriku. Saya doakan husnul khatimah beserta anak-cucunya.” Rasa cinta itu pula yang membentuk harmoni antara ketiga tokoh itu. Termasuk di dalamnya sikap Tawadhu’ satu sama lainya.

Hadratussyaikh adalah  guru Kiai Wahab dan Kiai Bisri. Ketiga tokoh ini hampir selalu bersama dalam berbagai hal. Mengaji bersama, membahas komite hijaz bersama-sama. Bahkan sebelum NU resmi berdiri secara ideologi mereka memiliki visi dan misi yang sama. Terbukti di dokumen pendirian sirkatul inan tahun 1916 sudah tercantum nama-nama beliau. Kala itu memakai nama H. Muhammad Hasyim Asy’ari, H. Abdul Wahab Chasbullah, dan H. Bisri Syansyuri. Hal ini memperjelas bahwa kombinasi tiga serangkai ini sudah eksis bahkan sebelum NU dilahirkan.

Mengutip Gus Mus, tiga serangkai ini mengingatkan pada Rasulallah dan dua muridnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Jika ditelisik lebih dalam Mbah Wahab dengan kelenturannya dan Mbah Bisri dengan ketegasannya hampir tidak pernah sependapat. Hal ini dipengaruhi oleh metode pendekatan tokoh Dwi Tunggal tersebut. Mbah Wahab kerap menggunakan pendekatan ilmu ushul fiqh, sehingga kelenturannya sangat terlihat. Mbah Wahab menggunakan kaidah, bukan menggunakan teks. Sedangkan Mbah Bisri lebih suka menggunakan teks karena lebih hati-hati.

Fakta yang lebih jelas adalah perbedaan pendapat dua tokoh itu tentang Bank. Dalam persoalan Bank itu ada halal dan haram. Haram adalah bentuk kehati-hatian Mbah Bisri dan yang halal adalah kelenturan Mbah Wahab. Meskipun ada hukum syubhat, itu hanya sebagai penengah saja. Hakikatnya hanya ada halal dan haram. Itulah sebabnya dalam hasil muktamar NU sering kita temui fihi qoulani.

Suatu ketika Gus Dur pernah bercerita tentang watak kedua tokoh itu yang bertolak belakang tentang Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong (DPR-GR) bentukan Soekarno yang merekrut banyak orang. Mbah Wahab memperbolehkan DPR-GR. Jika nanti dirasa tidak cocok, maka bisa keluar dan tidak ikut model sistem tersebut. Namun bagi Mbah Bisri, hal itu tetap tidak bisa, haram hukumnya.

Lebih jauh lagi, Mbah Wahab dan Mbah Bisri sering berbeda pendapat dalam Bahtsu Masail. Bahkan sampai ngedor-ngedor bangku. Tapi hal itu hanya ketika di dalam forum. Ketika istirahat seakan tidak terjadi perbedaan sama sekali. Bahkan rebutan nimba. Jika Mbah Bisri yang berhasil meraih timba dulu maka Mbah Wahab yang dilayani, begitu sebaliknya, maka Mbah Wahab yang melayani. Memberikan pelayanan wudhu kepada satu sama lain adalah bentuk takdzim dan cinta pada sahabatnya.

Harmoni antara Mbah Wahab dan Mbah Bisri seperti sebuah magnet yang bertolak belakang dan sekaligus saling tarik menarik. Berbeda pendapat (utara dan selatan) tapi di saat yang lain saling takdzim dan tawadlu’. Mengutip arti tawdlu  dari Hasan al-Bashri, dia menjawab ketika ditanya oleh muridnya tentang arti tawadlu’, “Seorang keluar dari rumahnya, maka ia tidak bertemu seorang Muslim, kecuali mengira bahwa yang ditemui itu lebih baik dari dirinya.

Para pemimpin NU mestinya meniru sikap dua tokoh teladan itu. Mereka adalah orang yang tawadlu’ meski telah memiliki pangkat tinggi. Rivalitas bukan perkara utama sebagai alasan untuk berebut jabatan. Ketika Hadratussyaikh menjadi Rois Akbar NU, menjadi apakah Mbah Wahab ketika itu? Apa Wakil Rois? Atau Rois ketiga atau keempat? Tidak. Beliau menempatkan dirinya sebagai katib (sekretaris). Mbah Bisri menjadi apa? Beliau menempatkan dirinya sebagai A’wan (anggota). Hal ini menjadi arsip sejarah bagaimana ketawadlu’an para kiai-kiai zaman dahulu. Sekaligus menjadi kaca sejarah bagi para pemimpin NU yang lebih mementingkan rivalitas daripada ketakdziman.

Baru setelah Hadratussyaikh wafat, Mbah Wahab mau menerima jabatan Rois Aam, bukan Rois Akbar. Karena menurut beliau, yang pantas menyandang gelar dan jabatan Rois Akbar hanya KH. Hasyim Asya’ari. Hal serupa juga diterapkan oleh Mbah Bisri saat dicalonkan menjadi Rois Aam. Ketika itu Mbah Wahab sudah udzur dan hampir tidak bisa apa-apa. Maka para Muktamirin mencalonkan Mbah Bisri karena merasa kasihan dengan Kiai Wahab jika dibebankan tanggung jawab tersebut. Lantas Mbah Bisri meraih microphone, “Selama Kiai Wahab masih hidup, saya hanya siap untuk menjadi wakilnya”.

The Founding Fathers NU memahami betul nasihat Imam al-Ghazali dalam kitab Maraqi al-Ubudiyah, “Jika engkau melihat anak kecil, katakanlah dalam hatimu, ‘ia belum pernah bermaksiat kepada Allah. Sedangkan aku telah bermaksiat. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku. ‘Jika engaku melihat orang yang lebih tua katakanlah, ‘Orang ini telah beribadah sebelum aku melakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku. ‘Jika melihat orang alim, katakan pada, ‘Orang ini telah memperoleh apa yang belum aku peroleh. Maka, bagaimana aku setara denganya. ‘Jika dia bodoh, katakan dalam hatimu, ‘Orang ini bermaksiat dalam kebodohan, sedangkan aku bermaksiat dalam keadaan tahu.

Menjelang Muktamar NU ke-33 impian dibebankan kepada mereka yang akan menjadi The Next Leader. Harapanya pemimpin-pemimpin NU mampu mengambil nilai-nilai sejarah ketawadluan para muassis NU ketika berhadapan dengan sebuah jabatan. Bukan rivalitas yang berujung pada praktik KKN dan riswah tapi ketawadluan sebagai upaya menjaga marwah Nahdlatul Ulama. Wallahu ‘alam bis Showab.


*MSP

No comments:

Post a Comment

 

Most Reading

Sidebar One