Update

Filosofi Wallahu A’alam bis Showab*

Tuesday 23 June 2015


Tradisi tawadlu’ adalah sifat yang diwariskan kuat oleh para ahlul ilmi yang bertranmisi dari Baginda Rosul shallohu alaihi wassalam. Hal ini menjadi salah satu ciri khas yang dimiliki oleh the founding fathers Nahdlatul Ulama, bahkan sampai kepada jamaahnya. Kita sering mendengar bahwa para Kiai NU itu sangat tawadlu’. Bahkan untuk urusan jabatan (para kiai terdahulu) berebut menolak dan mengutamakan orang lain.

Jika kalian pernah mondok di sebuah pesantren tentunya tidak asing dengan ucapaan Wallahu a’alam bis showab. Kepalang suka ketika mendengar untaian kata itu terlontar dari qori’ atau ustadz atau kiai. Itu menjadi pertanda bahwa pengajian usai.

Wallahu a’alam bis showab mempunyai arti “dan hanya Allah yang mengetahui kebenaran”. Sekilas hanya ungkapan biasa. Tapi muncul makna yang kuat. Adigium pamungkas itu berarti sangat mendalam, yang mungkin tak banyak orang sungguh memahaminya. Yaitu ketawdlu’an.

Suatu ketika beberapa sahabat Hasan al-Bashri menyebutkan beberapa definisi tawadlu’, namun beliau diam saja. Saat definisi semakin banyak disebut, beliau mengatakan,”Aku menilai kalian telah banyak menyebut apa itu tawadlu’.”

Akhirnya mereka balik bertanya, “Apa tawadlu’ itu menurut Anda?”
Al Hasan Al Bashri menjawab, “Seorang keluar dari rumahnya, maka ia tidak bertemu 
seorang Muslim, kecuali mengira bahwa yang ditemui itu lebih baik dari dirinya.”[1]

Apa yang disebutkan Hasan Al Bashri mirip dengan nasihat Imam Al Ghazali mengenai tawadlu’. Beliau mengetakan,”Janganlah engkau melihat kepada seseorang kecuali engkau menilai bahwa ia lebih baik darimu. Jika melihat anak kecil, engkau mengatakan,’Ia belum bermaksiat kepada Allah sedangkan aku telah melakukannya, maka ia lebih baik dariku’. Jika melihat orang yang lebih tua, engkau mengatakan, ‘Orang ini telah melakukan ibadah sebelum aku melakukannya, maka tidak diragukan bahwa ia lebih baik dariku.’ Dan jika ia melihat orang alim (pandai), maka ia berkata,’Ia telah diberi Allah ilmu lebih dibanding aku dan telah sampai pada derajat yang aku belum sampai kepadanya.’ Kalau ia melihat orang bermaksiat, ia berkata, “Ia melakukannya karena kebodohan, sedangkan aku melakukannya dan tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Maka, hujjah Allah kepadaku akan lebih kuat.’”[2]

Ketawadlua’an para ulama terdahulu menunjukkan sebuah arti keikhlasan yang mendalam. Dalam setiap mukaddimah penulisan kitab selalu termaktub “Jika tanpa ma’unah dan rahmat Allah tentulah penulisan kitab ini tidak akan selesai,”. Atau tertulis di akhir kitab tersebut dengan kata al-fakiir, atau Khodimul ma’had sebagai awalan dari nama muallif atau mushonif kitab, seperti yang pernah dituliskan oleh Hadratussyaikh dalam kitabnya. Bahkan kitab yang berhasil ditulis bukan disebut sebagai karya atau tulisan, melainkan kutipan-kutipan yang berhasil saya kumpulkan.
Hal semacam itu sering dicontohkan oleh pendahulu Islam. Begitu diangkat menjadi khalifah, yang pertama dilakukan Umar Ibn Abdul Aziz, bukan berkonsultasi pada yang lain, tetapi kepada Hasan al-Bashary. Seorang tokoh ulama yang mumpuni yang dijuluki Syeikhul Islam dan Sayyidut Taabi’ien yang ketika wafat pada tahun 110 H tak ada seorang pun penduduk Bashrah yang tak keluar melayatnya.

Pemimpin sekaliber Umar Ibn Abdul Aziz yang dijuluki Umar kedua karena keadilannya dan begitu arif hingga dijuluki khalifah Rasyidin kelima. Dia bukan pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyatnya secara demokratis, tapi dicomot dari lingkungan ningratnya. Andai saja Umar Ibn Abdul Aziz ingin menjadi kaya raya tentunya hal yang sangat mudah. Tapi bukan uang yang dicari tapi nasihat untuk pribadinya dan bekal memimpin bangsa.

Setelah meminta nasihat kepada Hasan al-Bashary, dia tak menjadikan nasihat itu sebagai alat promosi dan janji-janji suci kepada rakyatnya untuk memperoleh simpati. Nasihat itu dijadikannya pedoman untuk menjadi pemimpin yang adil dan dicintai oleh rakyatnya. Hingga terwujudlah negara yang kaya raya hingga tak ada satu orang pun mau menerima zakat dari orang lain. Dan menjadi negara yang aman dari tindak kriminal.

Pemimpin atau penguasa yang baik adalah mereka yang ditaati karena dicintai, bukan karena ditakuti atau diincar manfaatnya. Sekali lagi, awal dari kepemimpinan bukan janji dan umbar sumpah tapi kerendahan dan ketawadluan.

Cerita di atas yang mungkin seperti sebuah dongeng karena hampir tidak mungkin menemui hal sedemikian rupa. Kerendahan dan ketawdluan juga terkandung dalam Wallahu a’alam bis showab, menunjukkan kerendahan diri yang tinggi. Setiap selesai menyampaikan sebuah ilmu selalu dipungkasi dengan adigium tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disampaikan atau diajarkan mungkin saja ada kekeliruan. Sebagus dan sebaik apapun ilmu seseorang, dengan menisbatkan diri bahwa yang mengetahui hakikat kebenaran hanya Tuhan adalah ke-tawadlu’an yang paripurna. Paling tidak, mengucapkannya adalah bentuk latihan menumbuhkan sifat tawadlu’ yang mulai hilang saat ini.

Suatu ketika Ibnu Ruslan menyelesaikan penulisan kitab Zubad di atas sebuah kapal yang berlayar di laut lepas. Pada saat kitab Zubad selesai ditulis, dia mengikatkan batu di bagian atas dan bawah kitab itu. dia ingin melempar kitab itu ke laut meskipun orang-orang di kapal saat melihatnya segera mencegahnya, namun dia tetap bersikukuh dengan niatnya. “Biarkanlah. Jika kitab karanganku ini benar-benar ditulis ikhlas karena Allah, air laut tidak akan mampu merusaknya”, katanya mantap. Akhirnya ombak berhasil membawa kitab tersebut ke tepi laut, dan seorang nelayan yang menemukan menyerahkan kitab kepada salah seorang ulama di daerah itu dan akhirnya disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.

Polemik Rais Aam yang muncul beberapa waktu terakhir menjadi perdebatan hangat. Termasuk di dalamnya apakah model Ahwa (ahlul halli wal aqdi) masih relevan di zaman sekarang. Yang jelas, jabatan Rais Aam itu bukan jabatan seperti presiden atau semacamnya yang patut dipemilukan. Mengutip sebuah kisah ketawadluan.

Kiai Wahab Hasbullah enggan menerima jabatan Rais Akbar selama KH. M. Hasyim Asyari masih hidup. Bahkan setelah wafat Hadratussyaikh, Rais Akbar diganti namanya menjadi Rais Aam. Kiai sekaliber Mbah Wahab masih merasa minder dan tak pantas menyandang predikat itu. Setali dua uang, adik iparnya, KH. Bisri Syansuri juga demikian. Ketika dicalonkan oleh mayoritas kiai dan muktamirin untuk menggantikan Mbah Wahab sebagai Rais Aam, dengan tegas beliau menjawab, “Selama masih ada Kiai Wahab saya hanya siap menjadi wakilnya.”

Hal senada juga dipahami benar oleh Almaghfurlah KH. Sahal Mahfudz, mantan Rais Aam. Sejarah mengungkapkan bahwa Mbah Sahal sebenarnya telah menjadi Rais Aam sejak Munas di Lampung ketika Kiai Alie Yafie mundur. Karena sebelumnya beliau sebagai wakil Rais Aam. Tapi karena suatu hal, Mbah Sahal ndak purun (menolak). Akhirnya wakil-wakil di bawah beliau juga tidak ada yang mau. Untungnya ada kiai yang sangat ikhlas, KH. Ilyas Ruchiyat dari Cipasung Jawa Barat. “Beliau lalu bicara pelan-pelan, ‘ini kalau ndak ada yang mau kan vakum. Organisasi sebesar ini ndak ada pejabat Rais Aam-nya. Beliau mengucapkan dengan penuh keikhlasan. Kalau ndak ada yang mau, ya sudah saya juga ndak apa-apa,”.

Peristiwa serupa juga dialami Gus Mus yang ketika itu menjabat sebagai wakil Rais Aam. Saat itu Yai Sahal yang jadi Rais Aam. Menurut AD/RT, ketika Rais Aam berhalangan hadir atau sedang udzur maka peran Rais Aam diwakilkan pada wakilnya. Karena tidak tahu peraturan itu, Gus Mus terpaksa menggantikan Yai Sahal. Kalau saja beliau tau ada peraturan semacam itu, tentunya saya tidak mau menjadi wakil, ujar Gus Mus.

Pada hakikatnya, kita merindukan seorang pemimpin yang memahami filosofi wallahu a’alam bis showab. Mendambakan pemimpin yang tampil sedikit sederhana dan tawadlu’. Bukan yang menganggap dirinya mampu dan membualkan ocehan. Lha sekaliber Mbah Wahab, Mbah Bisri, Mbah Sahal saja berebut tidak mau, malah sekarang menjadi rebutan.
Semoga saja cerita yang terdengar seperti dongeng mampu menghibur para pemimpin kita dan mau menenggok lembaran dongeng nenek moyang kita terdahulu. Bukan hanya untuk dipidatokan tapi dijadikan pedoman dalam memimpin umat. Sekali lagi Wallahu a‘alam bis showab!

*Muhammad Septian Pribadi, semoga berkah dan bermanfaat.

[1] (Az Zuhd, hal. 279)
[2] (Maraqi Al Ubudiyah, hal. 79)

No comments:

Post a Comment

 

Most Reading

Sidebar One