Update

Memahami Sisi Kewalian Gus Dur*

Saturday 15 November 2014


Judul Buku        : Bukti-bukti Gus Dur itu Wali
Penulis              : Achmad Mukafi Niam & Syaifullah Amin
Tahun Terbit     : Cetakan I,II,III (Januari 2014, Maret 2014, Oktober 2014)
Penerbit            : renebook
Tebal                : 223 halaman
Harga               : Rp 45.000




Di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Losari, sekitar pukul 01.00 dini hari, Gus Dur meminta sopirnya untuk kembali menuju ke makam Sunan Gunung Jati yang berada di kompleks Astana Gunung Sembung, Cirebon. ‘Saya baru saja dipanggil Sunan Gunung jati,’ kata Gus Dur. Seluruh anggota rombongan terdiam.” (halaman 22)


Buku seri biografi tentang bukti-bukti Gus Dur itu Wali mencoba mengeruaikan sejarah panjang kehidupan Gus Dur yang penuh dengan kejadian aneh dan diluar nalar. Lewat 99 persaksian tak terbantahkan dari sahabat, orang dekat, kolega, dan keluarga, Achmad Mukafi dan Syaifullah Amin, penulis mencoba menyajikan sisi seorang Gus Dur yang tidak banyak orang tahu dalam sebuah karya tulisan dalam bentuk buku.


Menurut perspektif sebagian masyarakat menganggap Gus Dur adalah seorang wali. Kewalian Gus Dur bukan tanpa perhitungan rasional, terbukti dalam polling yang dilakukan oleh penulis melalui laman NU Online antara 30 Desember hingga 11 Februari 2011 tentang Gus Dur seorang wali, 49 persen percaya Gus Dur wali, 27 persen mempercayai Gus Dur orang cedas dan multibakat, 18 persen menganggap Gus Dur orang biasa, dan 6 persen mengaku tidak tahu.


Penyematan gelar wali kepada Gus Dur bukan tanpa alasan. Pada kenyataanya GD memiliki kemampuan di atas rata-rata orang normal. Kemampuan intelektualnya yang superlatif, nyata, jelas, dan memiliki keunggulan supremasi dalam berbagai bidang membuatnya fasih dalam menganalisa dan membaca keadaan. Sehingga muncul keistimewaan “weruh sak durunge winarah” mengetahui suatu kejadian sebelum kejadian itu terjadi.


Pada 26 Desember 2004, secara tiba-tiba bencana tsunami yang mengerikan meluluhlantahkan Aceh. Ratusan ribu nyawa melayang dan nasib ratusan ribu rakyat lainnya mengenaskan. Mereka kehilangan harta dan keluarga.


Beberama minggu sebelumnya, tepatnya di Masjid Agung Demak, H. Sulaiman diperintahkan melalui telepon (oleh Gus Dur) untuk membuka al-Quran dan membaca ayat tepat di halaman yang dibuka pertama kali. Halaman yang terbuka waktu itu adalah Surah Nuh, meceritakan tentang banjir besar yang melanda dan menghabiskan umat Nabi Nuh.


H.sulaiman pun bertanya kepada Gus Dur tentang makna surah yang dibacanya itu. “Akan ada bencana besar yang menimpa Indonesia,” kata GD, tetapi tidak menyebutkan secara detail di mana dan kapan, serta apa bentuk bencananya. Tak lama setelah itu terjadi tsunami yang besar di Aceh. Dunia heboh, korban berjatuhan. (halaman 83)


Tak ada yang mengetahui dari mana Gus Dur mengetahui bencana sebelum bencana itu muncul. Kemudian muncul pertanyaan, apakah benar Gus Dur seorang wali? Dalam tradisi masyarakat Jawa, ada kalanya masyarakat memiliki kecondongan dalam menilai perilaku seseorang. Tingkah laku atau ucapan seorang pemimpin yang nyeleneh atau di luar nalar dan berujung pada “real happen or fact” dapat menumbuhkan keyakinan bahwa orang tersebut memiliki karomah.


Cerita Wali Songo dengan semua karamah yang dimiliki, seperti mengubah buah kolang-kaling menjadi emas, memunculkan sumber air, menyembuhkan penyakit, menebak pikiran, atau muncul di beberapa tempat diwaktu yang bersamaan merupakan gambaran umum para wali di Indonesia. Kemampuan spiritual ini seolah menjadi syarat seseorang memperoleh julukan wali.


Menurut KH. Said Aqil Siradj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terdapat dua kategori dalam derajat kewalian, yaitu waliyullah dan wali huquqillah. Waliyullah adalah derajat wali yang pencapaian kewaliannya tidak melalui prosedur normatif lewat cara riyadhah atau tirakat dan lain-lain. Derajat ini didapatkan langsung melalui pengangkatan oleh Allah tanpa usaha. Contohnya adalah Ibrahim bin Adham dan Gus Dur.


Wali huquqillah merupakan derajat kewalian yang dicapai dengan cara normatif atau berproses melalui kehidupan sufi. Secara teoritis seseorang harus melalui berbagai tahapan seblum akhirnya menjadi wali. Contohnya Ibnu Sina dan Ibnu Arabi. Keduanya meniti jalur filsafat, lalu masuk ke dunia sufi, dan kemudian melakukan riyadah dan mujahadah.


KH. Dr. Lukmanul Hakim, menilai tanda-tanda kewalian ada pada diri Gus Dur. “Beliau itu tidak memiliki rasa takut dan susah,” ujarnya. Menurutnya Gus Dur adalah orang yang dikenal memiliki keberanian dalam menghadapi berbagai penderitaan. “Semoga yang kita husnuzhan-kan benar” katanya. (halaman 3)


Buku setebal 223 halam ini, menyajikan kisah-kisah Gus Dur yang menakjubkan dan mendebarkan tentang kisah-kisah yang terjadi pada Gus Dur. Lewat buku ini pula kita dapat belajar akan perjuangan cucu Sang Pendiri NU yang telah sukses menjaga keutuhan NKRI dan mengajarkan masyarakat tentang keuletan GD dalam menghadapi berbagai masalah dalam hidup khususnya dalam bidang pluralisme. Selamat membaca!


*) Muhammad Septian Pribadi, Aktif di Tebuireng Media Grup dan Sanggar Kepoedang (Komunitas Penulis Muda Tebuireng), tinggal di PP Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

No comments:

Post a Comment

 

Most Reading

Sidebar One