Update

Mbah Wahab, Mbah Bisri, Buya Hamka dan Natal?*

Monday 4 January 2016

Dari kiri: Mbah Wahab, Mbah Bisri dan Buya Hamka
Pemandangan hitam dan putih selalu tersaji menjelang perayaan Natal yang jatuh tiap tanggal 25 Desember. Media cetak dan daring (online) akan dipenuhi sesajian tentang boleh atau tidaknya mengucapkan”Selamat Hari Natal” untuk penganut Kristiani. Kontroversi ini selalu muncul, entah memang sengaja dimunculkan atau sekadar alarm penyegar dan upaya preventif untuk umat Islam agar tidak melanggar koridor syariah yang ditetapkan Tuhan.
Awalnya masyarakat resah dengan varian opini perayaan Natal. Rakyat khawatir, ikut serta membantu sebagai wujud tenggang rasa akan mencederai kepercayaannya. Apalagi ada sebagian kelompok yang menyerukan PNB (Perayaan Natal Bersama). Menanggapi keresahan itu, kemudian MUI memfatwakan haram mengikuti perayaan Natal.
Fatwa itu dicetuskan oleh Buya Hamka pada 1 Jumadil Awal 1401 atau 7 Maret 1981 tentang Perayaan Natal Bersama (PNB). Fatwa tersebut dilatarbelakangi fenomena yang kerap terjadi sejak 1968 ketika Hari Raya Idul Fitri jatuh pada 1-2 Januari dan 21-22 Desember. Lantaran perayaan Lebaran berdekatan dengan Natal, banyak instansi menghelat acara perayaan Natal dan Halal Bihalal bersamaan. Ceramah-ceramah keagaman dilakukan bergantian oleh ustadz, kemudian pendeta. Menurut Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Hamka mengecam kebiasaan itu bukan toleransi namun memaksa kedua penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik. Hamka juga menilai penganjur perayaan bersama itu sebagai penganut sinkretisme.



Dalam fatwanya, MUI sendiri melihat bahwa perayaan Natal Bersama disalahartikan oleh sebagian umat Islam dan “disangka sama dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw”. Karena salah pengertian itu, ada sebagian umat Islam ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal. Padahal, lanjut MUI, perayaan Natal bagi umat Kristen adalah ibadah.
Dalam hukum Islam, penetapan halal dan haram harus tegas dan jelas. Sebab manusia selalu menginginkan hukum yang lebih ringan. Ketika diberi hukum yang berat maka tak khawatir apabila mereka masih menawar. Toh, penawarannya masih dalam koridor yang katakan agak berat.
Beda halnya ketika memberikan hukum yang lentur, pasti akan ditawar lagi. Yaaa, namanya juga manusia. Membicarakan kelenturan dan ketegasan mengingatkan pada Dwi Tunggal Nahdlatul Ulama; KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri. Andaikata mereka berdua masih hidup, kira-kira apa jawaban keduanya ketika ditanya hukum mengucapkan “Selamat Hari Natal.”
Mbah Wahab dengan kelenturannya dan Mbah Bisri dengan ketegasannya hampir tidak pernah sependapat. Hal ini dipengaruhi oleh metode pendekatan tokoh Dwi Tunggal tersebut. Mbah Wahab kerap menggunakan pendekatan ilmu ushul fiqh, sehingga kelenturannya sangat terlihat. Mbah Wahab menggunakan kaidah, bukan menggunakan teks. Sedangkan Mbah Bisri lebih suka menggunakan teks karena lebih hati-hati.
Suatu ketika Gus Dur pernah bercerita tentang watak kedua tokoh itu yang bertolak belakang tentang Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong (DPR-GR) bentukan Soekarno yang merekrut banyak orang. Mbah Wahab memperbolehkan DPR-GR. Jika nanti dirasa tidak cocok, maka bisa keluar dan tidak ikut model sistem tersebut. Namun bagi Mbah Bisri, hal itu tetap tidak bisa, haram hukumnya.
Mbah Wahab dan Mbah Bisri sering berbeda pendapat dalam Bahtsu Masail. Bahkan sampai ngedor-ngedor bangku. Tapi hal itu hanya ketika di dalam forum. Ketika istirahat seakan tidak terjadi perbedaan sama sekali. Bahkan rebutan nimba. Jika Mbah Bisri yang berhasil meraih timba dulu maka Mbah Wahab yang dilayani, begitu sebaliknya, maka Mbah Wahab yang melayani. Memberikan pelayanan wudhu kepada satu sama lain adalah bentuk takdzim dan cinta pada sahabatnya.
Harmoni antara Mbah Wahab dan Mbah Bisri seperti sebuah magnet yang bertolak belakang dan sekaligus saling tarik menarik. Berbeda pendapat (utara dan selatan) tapi di saat yang lain saling takdzim dan tawadlu’.
Medamaikan kontroversi Natal menjadi perlu untuk menghindari sikap jatuh di lubang yang sama. Artinya, mengikuti dan berpartisipasi dalam perayaan Natal berimplikasi larangan bagi umat Islam. Sedangkan pengucapan selamat Natal bukan menjadi larangan. Salah kaprah jika menyamakan antara pengucapan selamat Natal dengan berpartisipasi dalam kegiatan Natal yang selama ini dipahami oleh banyak orang, bahkan media.
Perlu adanya dua jalan sebagai langkah perdamaian dalam kontroversi Natal. Pertama, mempersilakan (silakan) umat kristiani untuk merayakan natal merupakan padanan sikap mengucapkan ‘selamat’. Jadi tak perlu mengucap “Selamat hari Natal” bagi umat Islam yang berpegang pada pendapat yang melarang.
Kedua, silakan mengucapkan selamat Natal dengan syarat, tidak menampilkan simbol mereka atau berbagai ungkapan yang bertentangan dengan prinsip Islam, seperti salib. Kemudian penambahan kata “kalian” di akhir selamat Natal. Contoh: “Selamat Hari Natal kalian.”
Hal tersebut (penambahan kata kalian) pernah dilakukan oleh Buya Hamka sebagaimana yang pernah dikisahkan oleh Irfan Hamka, anak Buya Hamka.
“Yang diharamkan Buya adalah mengikuti ibadah Natal. Umat Islam dilarang mengikuti ibadah umat yang merayakan Natal, seperti menyanyi di gereja, membakar lilin atau apapun yang termasuk ibadah pada hari Natal. Ayahnya dulu juga pernah mengucapkan selamat Natal bagi penganut Kristen. Dulu saat tinggal di Kebayoran Baru. Ada dua orang tetangga yang merupakan Kristiani. Nama kedua orang itu adalah Ong Liong Sikh dan Reneker. Saat ayahnya merayakan Idul Fitri, keduanya memberikan ucapan selamat kepada Buya. Begitu pun sebaliknya Buya juga mengucapkan selamat kepada kedua tetangganya tersebut. “Selamat, telah merayakan Natal kalian.”
Dalam kata 'Natal kalian' berfungsi membatasi akidah. Pasalnya, dalam al-Quran dijelaskan 'Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku'. Tidak masalah mengucapkan selamat Natal, asalkan disertakan kata kalian atau bagi kaum Kristiani. Sebab, kata tersebut yang membedakan antara akidah masing-masing agama.
Kini, permasalahan saban tahun bukan tentang boleh atau tidak mengucapkan selamat hari Natal. Sebab para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi permaslahan ini. Semua orang boleh memilih salah satu dari dua pendapat, antara melarang atau yang memperbolehkan karena masing-masing memiliki dalil. Dalam Islam perbedaan pendapat pada satu objek hukum adalah lumrah dan umat Islam diperbolehkan memilih salah satu di antara keduanya dengan pertimbangan memilih resiko bahaya yang paling kecil, sebagaimana kaidah fiqih, “Bila harus memilih antara dua mudhorot  (bahaya) maka pilih yang paling kecil.”
Tulisan dan ulasan yang muncul menjelang detik-detik Natal bukan saatnya tentang boleh dan tidaknya. Sebab masyarakat mestinya mampu memahami dirinya masing-masing dalam menyikapi dinamika pengucapan selamat Natal. Kini yang terpenting adalah bagaimana sikap kita menjaga kerukunan dan menghormati perbedaan pendapat dengan benar dan sederhana.

Perbedaan paham keagamaan tidak boleh mencederai kerukunan serta memaksakan paham yang diyakininya kepada pihak lain apalagi dengan kekerasan. –SBY-

*Oleh: Larvaruba, penikmat bola. Pernah dimuat di
http://www.muslimedianews.com/2015/12/kontroversi-natal-belajar-berbeda.html

No comments:

Post a Comment

 

Most Reading

Sidebar One