Update

Krisis Pernikahan di Kalangan Pemuda*

Tuesday 9 June 2015

Jika boleh mengibaratkan, ada dua instansi pemerintahan yang mempunyai persepsi berlawanan arus. Memercikkan butiran kebahagian dalam dua insan yang menyatu, KUA. Dan mengurai kesyahduan dalam bingkai kemesraan, Pengadilan Agama. Belum mudeng ya? KUA – Idkholus as-surur (memberikan kebahagian) dan PA – Ikhrojus as-surur (mencabut kebahagian). Itu hanya sebagian persepsi masyarakat yang saya bahasakan. Dalam kenyataanya tidak melulu seperti itu kog. Itu hanya persepsi bukan bukti. Toh setiap manusia boleh memberikan kesan, karena kesan tak bisa dipersalahkan. Orang bijak mengatakan “kita sering melihat hutan, bukan pohon”.

Setiap pernikahan pastilah sesuatu yang membahagiakan. Lalu apa arti nikah? Menurut KBBI, nikah adalah ikatan (akad) yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Seperti yang dijelaskan oleh Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifayah al-Akhyar, dikatakan: nakahat al-asyjar, pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.

Dalam al-Quran sendiri, kata nikah kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual. Contoh dengan arti akad nikah: fankihu maa thoobalakum... (an-Nisa’: 3)  sedangkan yang memiliki arti hubungan seksual: faain thollaqoha falaa tahillu lahu min ba’di hatta tankiha... (al-Baqarah: 230). Lalu bagaimana membedakan antara nikah yang bermakna akad nikah dan nikah yang berarti hubungan seksual?

Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan sebagai berikut: Jika dikatakan bahwa soerang laki-laki menikah dengan soerang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya laki-laki tersebut melakukan akad nikah denganya. Jika dikatakan bahwa seorang lelaki menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual.

Seiring perkembagan zaman dan era globalisasi, semua aspek kehidupan mengalami kemajuan dan peningkatan yang pesat. Termasuk di dalamnya hal yang positif. Sebagai konsekuensi logisnya maka perkara yang negatif pun mengalami nasib yang sama. Seperti pernikahan. Saya rasa banyak sekali orang keliru dalam memahami pernikahan. Bahkan mungkin sengaja bodoh tentang apa itu menikah.

Statistik pernikahan pasca hamil atau bahasa populernya LKMD (Lamaran Kari Meteng Disek) setiap tahunnya mengalami peningkatan yang luar biasa. Selama 2013, anak-anak usia 10-11 tahun yang hamil di luar nikah mencapai mencapai 600.000 kasus. Sedangkan remaja usia 15-19 tahun yang hamil mencapai 2,2 juta. Jumlah itu belum termasuk remaja yang hamil usia 12-14 tahun yang tidak terdata. Data ini disampaikan oleh Mensos Khofifah Indar Parawansa pada tahun 2014. Bagaimana dengan 2015?

Jika ditelisik lebih dalam, pergaulan bebas dikalangan remaja sudah mencapai status gawat alias mengkhawatirkan. Banyak anak perempuan berusia kurang dari 15 tahun hamil di luar nikah. Lebih parahnya, sebagian besar lelaki yang menghamili memilih lepas tanggung jawab. Kalau pun tanggung jawab, rumah tangganya tidak akan bertahan lama. Silahkan dibuktikan kalau tidak percaya.

Pemerintah telah membuat kebijakan bahwa anak-anak yang lahir tanpa ayah dan atau ibu dijadikan sebagai anak negara yang akan dipenuhi seluruh haknya sebagai warga negara. Permasalahannya apakah pemerintah mampu menampung seluruh anak tanpa identitas yang jelas tersebut? tentu jawabannya tidak.

Menurut Menteri Sosial, pemerintah hanya mampu membantu atau menanggung hak hidup 150 ribu anak per tahun. selebihnya, dia meminta partisipasi masyarakat sebagai bagian dari tanggung jawab sosial karena kini ada 1,1 juta anak yang lahir tanpa ayah dan atau ibu.

Masih mengutip Ibu Khofifah, seperti contohnya sebuah Pesantren Milenium di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menampung lebih 250 anak yang tak diketahui ayahnya. Jumlah itu semakin banyak karena tak ada kontrol dari keluarga masing-masing.

Aman menurut TNI, tidak ada teror. Aman menurut polisi, tidak ada begal. Tapi bagi majelis ormas, masyarakat, yang membuat tidak aman adalah persoalan krisis  akhlak yang semakin merajalela. Fenomena ini adalah wujud nyata degradasi moral dan akhlak yang membahayakan bagi generasi masa mendatang. Tentu ini menjadi tanggung jawab sosial kita selaku penduduk Indonesia.

Sebuah pengalaman miris pernah saya dengarkan langsung dari pihak KUA yang menanggani langsung LKMD di salah satu daerah yang memiliki basis keilmuan agama yang bisa dibilang cukup.

Ceritanya begini, suatu ketika ada seorang pria yang memiliki pacar. Entah diberi iming-iming apa, mungkin dengan dalih magis “karena aku cinta padanya” hingga suatu hari si-pria menghamilinya. Jika memang cinta kenapa harus dihamili sih? Lebih anehnya lagi wanita pun sering kali ikut meng-amini dalil tersebut. Baru setelah keblabasan, bingung bukan kepalang.

Tak lama, selang beberapa waktu setelah berhasil merengkuh mahkota pacarnya, dia berkenalan dengan seorang wanita lain. Pun sama, pria ahli rayu ini berhasil merasakan kenikmatan mahkota wanita yang dikenalnya beberapa waktu yang lalu. Entah jampe-jampe apa yang digunakan tapi walhasil dua wanita berhasil dia suntik dan berisi.
Demi menjaga nama baik, pria hidung belang ini menikahi kenalannya sebagai wujud tanggung jawab terhadap janin yang dititipkan pada rahim itu. Menikahlah mereka di KUA setempat dan melalui tahapan persyaratan nikah, akhirnya berhasil dan resmi secara hukum positif. Pendek cerita, pacarnya juga dinikahi karena memang sudah hamil. Terdaftar pula di kUA setempat dengan memalsukan identitas.

Suatu hari, karena urusan tertentu mertua dari cewek hasil kenalan itu pergi ke KUA. Maksud hati ingin mengurus akta anak eh ternyata secara tak sengaja identitas cowok beristri dua alias mantunya sendiri ini diketahui sang mertua. Murkalah dia, ternyata menantu yang menghamili anaknya punya istri lain secara sah. Merasa dikibuli, polisi pun bertindak. Walhasil pria hidung belang berhasil diringkus dan merengsek di tahanan jeruji besi.

Sudah menjadi perkara umum dan mafhum perawan hamil di luar pernikahan. Ini kemirisan moral yang sulit diantisipasi tanpa ada pengawasan secara seksama dan bersama. Lebih parahnya, ada sebuah adigium terkenal di antara para jejaka dan atau lelaki masa kini yang berbunyi, “Ora lanang yen gurung merawani wadon”, bukan laki-laki sejati jika belum pernah menyetubuhi perempuan. Lah??? Jika degradasi akhlak dan moral sudah separah ini mungkinkah generasi selanjutnya memiliki wanita perawan dan lelaki perjaka? Mungkin akan punah seiring perputaran budaya esek-esek.

Banyak faktor yang mempengaruhi pergaulan bebas pemuda masa kini. Pertama, pendidikan agama. Pendidikan sekolah umum yang notabene minim pendidikan agama menjadi salah satu penyebab kenapa pemuda Indonesia mengalami krisis moral. Bahkan sebagian sekolah yang berlabel umum seperti SMA memberikan pelajaran agama yang setara dengan pendidikan agama di Madrasatul Ibitidaiyah. Seperti tuntutan shalat, puasa, zakat dst. Tak mengherankan apabila untuk sekedar niat shalat saja banyak sekali yang tak bisa.

Kedua, lingkungan. Kita paham benar bahwa pembentukan karakter seorang anak dibentuk oleh lingkungan setelah keluarga. Seorang siswi SMP mengaku tidak tahu dan tidak paham bahwa zina-seks-kumpul kebo adalah haram. Bayangkan! Betapa mirisnya keadaan pemuda kita. Keadaan ini bukan omdo (omong doang) tapi benar-benar terjadi. Pada awalnya dia diperkosa, kemudian merasa ketagihan hingga akhirnya terus mencoba dan berujung pada perut buncit. Jika demikian, siapa yang harus kita salahkan? Apakah siswi mungil itu? atau lingkungan kita yang lebih memilih apatis? Seorang teman berucap, “lha seng mondok ae ada yang kebobolan, apalagi yang tidak mondok”.

Ketiga, peran keluarga. Peran keluarga menjadi prioritas utama demi menjaga kesucian dan moral seorang anak. Mestinya keluarga adalah agen pertama yang paling peduli terhadap pergaulan mereka. Perlu sedikit mengekang tapi tetap penuh kasih sayang. Kita bisa contoh pemerintah Aceh yang kini menerapkan sistem jam malam bagi perempuan pekerja sampai pukul 11 malam. Hal ini karena banyaknya kasus pelecehan seksual terhadap wanita di Aceh. Karena banyak perempuan yang bekerja di kafe atau swalayan hingga larut malam. Hal ini dianggap sebagai eksploitasi perempuan karena rawan terjadi pelecehan seksual. Nah, keluarga bisa saja menerapkan hal serupa dengan lebih efektif dan harmonis.

Ini menjadi refleksi kita bersama. Apapun metodenya dan caranya untuk menjaga generasi masa depan dari degradasi moral adalah keniscayaan. Sebab, kemajuan teknologi dan komunikasi serta pergaulan tidak diiringi peningkatan moral penduduk kita. Wanita sering lupa bahwa hal yang paling berharga adalah dirinya. Serumpun, menjadi seorang wanita yang dihormati lebih baik berbanding wanita yang diminati banyak kaum Adam. Wallahu ‘alam bis as-Showab

*oleh Muhammad Septian Pribadi, sebagai wujud peduli kasih terhadap pemuda (termasuk saya, karena masih muda) dan refleksi hasil praktikum di KUA setempat. Semoga bermanfaat.

1 comment

 

Most Reading

Sidebar One