Update

Menciptakan Kloning Gus Dur*

Sunday 3 May 2015


Judul Buku          : Mata Penakluk Manakib Abdurrahman Wahid
Penulis                : Abdulloh Wong
Pnerbit                : Expose, Jakarta
Cetakan               : Pertama, 2015
Tebal buku           : 295 halaman
ISBN                     : 978-602-7829-24-4
Harga buku           : 54.000,-

Hampir semua pemimpin memiliki masa lalu pelik dalam hidupnya. Entah memang sudah rencana Tuhan demikian rupa sebagai suratan dalam menapak kehidupan. Abdurrahman ad-Dakhil bisa disebut sebagai satu contoh. Sebelum ia dikenal sebagai guru bangsa, sekaligus bapak pluralisme Indonesia –tokoh penuh kontroversi-, dia memiliki masa lalu yang pilu dan berliku. Sudah banyak lembaran sejarah yang dikodifikasi tentang ad-Dakhil ini. Namun belum banyak yang meraciknya dalam balutan cerita sarat emosional.

Tak heran, ketika Abdulloh Wong –seorang seniman- mengimplementasikan mata hatinya untuk menyusun kata demi kata dalam mengisahkan Gus Dur muda. Terbukti dengan diksi “aku” menjadi pilihan yang berani sebagai subyek yang mewakili cucu Hadratus Syaikh itu. Tak banyak buku novel biografi, mungkin hanya ini satu-satunya novel Biografi tentang Gus Dur.

Hal itulah yang menjadikan Abdulloh Wong harus melakukan riset seluruh buku tentang Abdurrahman ad-Dakhil dan melakukan rihlah mistis ke makam para Ulama, termasuk pesarean di Pesantren Tebuireng. Bahkan untuk mengambarkan ihwal Gus Dur muda secara ciamik, Wong menutup matanya dengan kain hitam untuk merasakan keadaan psikis bapak presiden ke-4 RI itu dalam menjalani kesehariannya.

Dari kerja keras Abdulloh Wong ini, buku Mata Penakluk bisa disebut sebagai biografi genre-fiksi terbaik. Sebab, Wong berhasil menggambarkan secara mendalam masa kecil, remaja dan kemudian jejak karier Abdurrahman Wahid sebagai tokoh sentral keagamaan, presiden Indonesia dan menyisipkan humor renyah yang menjadi ciri khasnya.

Gus Dur lahir dari pasangan KH. Wahid Hasyim dan Solichah yang memiliki garis keturunan mulia dari Hadratus Syaikh Hasyim Asyari. Dia sering kali mengeluhkan cemooh dan hinaan para tetangga yang menghinanya karena sikapnya yang nakal (hal. 117). Tak salah, kalau para tetangga berpendapat dia anak nakal, sebab sejak kecil Gus Dur gemar sekali terhadap wayang dan nonton bioskop. Ya memang sejak kecil nggak bisa diam. Sulit dituturi padahal matanya blerengen (hal. 28)
Sejak kecil, ad-Dakhil kerap diajak ayahnya untuk berkunjung ke toko buku. Ya sekedar untuk melihat-lihat atau membelinya. Pak Wahid pula yang berperan penting dalam tumbuh kembang intelektualitas Dur muda. Dia memiliki ingatan yang kuat sejak muda dan mencintai sastra. Dari bapaknya lah pemuda berkacamata  ini sering melahap buku-buku yang tidak umum dibaca oleh anak seusianya. Novel karya Charles Dickens (Oliver Twist), F. Scott Fitzgerald (The Great Gatsby), dan Karl Marx (Das Kapital) menjadi santapanya (hal. 152).

Acap kali Yai Wahid bercerita kepada putranya tentang berbagai hal. Tentang Thoriq bin Ziyad, sejarah gula di Indonesia sampai sejarah Mataram. Ayah adalah inspirator terbesar dalam hidup Guru Bangsa itu. Tetapi, sang inspirator itu meninggalkan Gus Dur di usianya yang menjelang remaja, 13 tahun. Saat itu hujan turun semakin lebat dan diiringi kabut tebal menutupi jalanan yang basah diguyur air dari langit. “Sepertinya kita sudah masuk daerah Cimindi” ujar Yai Wahid. “Benar, Pak. Apalagi kabutnya lumayan tebal” Usman (sopir) menjawab dengan sedikit melebarkan matanya. Tiba-tiba mobil mengalami selip dan mobil yang tak terkendali menampar truk dari arah depan dengan kecepatan tinggi, brakk! (hal. 33-34).

Rupanya jalan hidup Gus Dur tidak mulus. Pasca wafat ayahanda, dia dikirim oleh Bu Solichah untuk belajar di Yogyakarta. Dititipkan ke pak lek Junaidi (seorang Muhammadiyah). Disinilah awal penempaan yang sesungguhnya bagi jiwa muda bapak pluralisme ini. Bertemu Ki Wongso –ahli perwayangan- yang memberinya wejangan mendalam tentang Semar. Semar itu lelaki, tapi berpayudara seperti perempuan. Ia sangat memesonakan hati, padahal rupa atau wajahnya jelek. Ia bukan manusia biasa. Ia penjelmaan Dewa Ismaya dan Suralaya (hal. 114). Mas Dur –begitu sapaanya- juga belajar kepada Kiai Ali Maksum di Krapyak.

Jika kita analisa, ada hal menarik dari masa kecil Gus Dur. Dari analisa itu kita bisa melakukan eksperimen dengan memproduksi “kloning” The Next Gus Dur. Bagaimana caranya? Semenjak kecil Abdurrahman muda sangat cinta buku. Membiasakan seorang anak membaca buku sejak dini akan memasok keilmuan luas pada otaknya. Seorang pepatah mengatakan, Jika ingin mengenal dunia maka bacalah. Kadar intelektualitas manusia tergantung seberapa banyak dia melahap buku. Bahkan perintah pertama saat titah kenabian turun adalah Iqro’. Demikian tentang peradaban Islam, tanpa membaca, darimana kita bisa tahu tentang hukum-hukum syariat yang ditulis oleh 4 maestro fiqih (Syafii, Hanafi, Hambali, dan Maliki).

Untuk melahirkan manusia seperti Abdurrahman ad-Dakhil, kita perlu mencetaknya sejak dini. Kiblat sepak bola dunia mengarah pada negara Eropa. Talenta hebat lahir di benua biru itu. Sebut saja Cristiano Ronaldo, Eden Hazard, Marco Reus, dan seterusnya. Kenapa mayoritas pemain berbakat dilahirkan dari sana? Hampir seluruh pelatih dan pengamat bola menjawab sepakat, “karena pembinaan bola dilakukan sejak usia dini”.

Orang Jepang menghabiskan 8 jam dalam sehari untuk membaca. Kita kalikan saja, jika sejak umur 7 tahun (patokan anak mampu membaca dengan lancar) hingga akhir hayatnya, 60 tahun misalkan. Berarti 53 tahun waktu hidup. 1 tahun = 365 hari. Maka 53 tahun  sama dengan 19.345 hari. Selanjutnya 19.345 hari dan 8 jam/harinya digunakan untuk membaca, berapa juta buku yang bisa dihabiskan anak kita jika saja sejak kecil dipelihara untuk selalu membaca? Jawabannya banyak, banyak sekali.

Gus Dur saja, hampir setiap hari melahap buku. Tiada hari tanpa membaca. Kecuali ketika pengelihatannya sudah mengalami disfungsi. Dia berhenti membaca. Sebagai gantinya dia membaca melalui alat pendengar –semacam rekaman- buku. Atau meminta orang lain untuk membacakan buku.

Faktor utama dan penting untuk keberhasilan kloning Gus Dur adalah peran seorang ayah dalam membangun jiwa dan keilmuaan anaknya. Dengan metode tell story yang diterapkan Yai Wahid pada Dur muda adalah salah satu kunci luasnya keilmuan guru bangsa itu. Sebab di masa pertumbuhan –anak- lebih senang mendengar cerita. Tentu saja cerita yang bermutu, baik dan luas tidak bisa disampaikan tanpa membaca buku.

Buku berjudul Mata Penakluk: Manakib Abdurrahman Wahid ini lebih banyak mengisahkan masa hidup Gus Dur saat muda. Terlebih hobinya dalam membaca buku yang tampak menonjol. Jadi karya ini hanya sebuah pengantar untuk menelisik sosok fenomenal dari pesantren yang mendunia. Sementara itu, pembaca yang ingin lebih jauh lagi mengenai Abdurrahman Wahid setelah masa penggodokan di kawah Candradimuka, bisa membaca buku Biografi Gus Dur (Greg Barton). Dan untuk memperlengkap khazanah ini bisa juga membaca Ensiklopedi Gus Dur (6 Jilid). Dengan banyaknya literasi tentang Gusdurianisme, diharapkan pembaca dapat mengenal secara utuh tentang KH. Abdurrahman Wahid –sosok kontroversial yang begitu unik, lucu, sekaligus luar biasa.


*) Muhammad Septian Pribadi, redaktur Majalah Tebuireng dan aktif di Sanggar Kepoedang (Kumpulan Penulis Muda Tebuireng).

No comments:

Post a Comment

 

Most Reading

Sidebar One