Ketika
Jokowi terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, majalah ternama se-Asia
TIME memuat wajah sang presiden ke-7 dengan kutipan “A New Hope” di bagian kiri
cover. Banyak pihak menafsiri munculnya wajah Jokowi di majalah merupakan
“Jokowi’s efect” yang selama ini merebak luas di luar Indonesia. Jokowi memang
menjadi trending topic dalam beberapa bulan terakhir akibat sepak terjangnya
yang terbilang sangat singkat dalam meraih singgasana kepresidenan Indonesia.
Kini
rakyat sudah menetapkan Jokowi menjadi Presiden pasca era-SBY selama dua
periode. Masih mengutip “A New Hope” dari majalah Time, terpilihnya Jokowi bisa
jadi sebuah harapan bangsa Indonesia untuk memperbaiki keterpurukan Indonesia.
Dengan semboyan “Revolusi Mental” yang diusung, dia mencoba untuk merubah karakter
masyarakat menjadi lebih humanis.
Lebih
dari itu, merubah model Birokrasi pemerintah beserta mental pelakunya merupakan
tujuan pokok guna mengembalikan kepercayaan rakyat yang selama ini hilang.
Kasus korupsi, suap-menyuap, pencucian uang, skandal asusila, kekerasan atas
nama agama dan sebagainya menjadi bingkai foto besar Indonesia. Kini tantangan
besar ada di tangan Jokowi, permasalahan semacam itu harus segera diberantas
untuk menyejahterakan kehidupan rakyat dan memanusiakan manusia. Mungkinkah jargon
“Revolusi Mental” bisa menjadi senjata ampuh atau hanya sebatas kata?
Pesantren dan
Akhlakul Karimah
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang genuin dan tertua di Indonesia. Eksistensinya
tidak perlu diragukan lagi, melalui berbagai zaman dan model dinamikanya,
pesantren masih tetap survive hingga sekarang. Menurut sejarah usia pondok
pesantren telah mencapai 300-400 tahun yang lalu dan Syekh Maulana Malik
Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi sebagai pendiri awal pesantren di jawa pada
tahun 1399 M.
Pesantren
adalah peninggalan para leluhur, salah satunya wali songo. Mereka berbaur di
tengah masyarakat Nusantara dan berdakwah melalui metode akulturasi,
mengapresiasi tradisi, dan kearifan lokal, serta memberikan keteladanan dengan
berpegang pada al-Quran, Hadis, dan kitab kuning. Dengan kata lain Indonesia
ber-akhlakul karimah dirintis dan dimulai oleh para Auliya’ tanah jawa atau
wali songo.
Hal ini senada dengan dukungan dari Agus Sunyoto, penulis buku Sejarah Walisongo. Menurutnya, kini pesantren tidak lagi menjadi lokomotif perubahan sosial-politik, tapi menjadi sekadar pendorong lokomotif. karena itu, penting bagi pesantren untuk kembali kepada masa Walisongo, yang bukan hanya sekedar mengajarkan fiqh, tetapi juga politik, filsafat, dan tata negara.
Hal ini senada dengan dukungan dari Agus Sunyoto, penulis buku Sejarah Walisongo. Menurutnya, kini pesantren tidak lagi menjadi lokomotif perubahan sosial-politik, tapi menjadi sekadar pendorong lokomotif. karena itu, penting bagi pesantren untuk kembali kepada masa Walisongo, yang bukan hanya sekedar mengajarkan fiqh, tetapi juga politik, filsafat, dan tata negara.
Nilai
kepesantrenan yang sebenarnya adalah membangun kesucian dan keindahan secara nyata dalam
kehidupan. Tidak sekadar membangun kata, tetapi juga membangun tindakan yang
konkret sehingga terjalin keharmonisan dalam tindakan dan kehidupan
sehari-hari.
Pembentukan
akhlakul karimah dalam metode pembelajaran di pesantren dipandang memiliki
efektivitas tinggi dalam proses penempaan karakter seseorang. Ada 4 nilai
pesantren dalam proses pembelajaran yang integral yaitu: metode
belajar-mengajar (dirasah wa ta’lim), pembiasaan berprilaku luhur (ta’dib),
aktivitas spiritual (riyadhah), serta teladan yang baik (uswah hasanah) yang
diperaktikkan langsung oleh kiai/nyai dan para ustadz.
Semua
dinamika dalam pesantren tersebut mendukung pembentukan karakter. Dengan kata
lain penanaman nilai-nilai akhlakul karimah menjadi efektif dengan pengawasan
24 jam penuh. Santri sebagai civitas pesantren dituntut untuk hidup mandiri dan
menjaga tingkah laku. Mulai dari mencuci baju sendiri, mengatur jadwal
kegiatan, memanage keuangan untuk jajan hingga belajar dan memahami pelajaran.
Para
kiai/nyai selalu menanamkan doktrin kepada para santri sebagai calon pemimpin
dan agen perubahan di masa depan, sehingga didalam diri santri tertanam kuat
kesadaran untuk mempersiapkan diri menjalankan peran di tengah masyarakat.
Kepemimpinan yang dimaksud disini bukan dalam jabatan formal melainkan kepekaan
dan kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya, mereka memandu dan mencerahkan
masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.
Menanam
pohon untuk bisa tumbuh besar perlu penguatan dan pemupukan di sektor akar.
Seperti itu peran pesantren sebagai basis atau akar dalam pertumbuhan pohon
besar berwujud Indonesia. Tanpa pesantren, Indonesia belum tentu dapat
terbentuk seperti sekarang ini, meski ada tokoh besar seperti Bung Karno dan
Bung Hatta, tetapi tanpa dukungan dari tingkat basis yang dipelopori para kiai
pesantren, kemerdekaan tidak akan mungkin bisa tercapai.
Santri Sebagai
Agen of Change
Sebenarnya, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama melainkan juga ilmu umum. Pemisahan ilmu agama dan umum pertama kali dikaburkan oleh kolinialis Barat. Mereka mencoba memisahkan antara agama dan ilmu umum, padahal Islam tidak pernah membedakan antara keduanya
Hal senada diungkapkan oleh Rais Aam PBNU, Gus Mus "Barat bukan hanya menjajah rakyat Indonesia saja tapi juga menginjak-injak sistem pendidikan kita. Belanda itu memisahkan ilmu menjadi dua, ilmu umum dan ilmu agama,".
Masih menurut Gus Mus, Pemisahan semacam ini kemudian diadopsi oleh pemerintah kita. "Ilmu umum mejadi sekolah-sekolah negeri, dan ilmu agama terdapat di madrasah dan pondok pesantren. Padahal Islam tak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum."
Oleh karena itu, untuk mewujudkan revolusi mental di semua lini, pemerintah diharapkan tidak memarjinalkan peran pesantren dalam gerakan merubah Indonesia. Dengan demikian, jika pemerintah bersikap adil dan lebih bijak, pesantren bisa menjadi wadah agen of change di Indonesia. Semoga pesantren tidak hanya menjadi pendorong lokomotif, tapi menjadi lokomotif itu sendiri.
Penempaan jiwa dan raga dalam pesantren diharapkan menumbuhkan jiwa mandiri bagi santri. Sebab mandiri merupakan modal penting bagi santri untuk terjun dalam masyarakat dan tidak tergiur oleh iming-iming jabatan formal atau intervensi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Selain itu santri harus menjadi suri tauladan bagi masyarakat dan berkeinginan kokoh untuk berbagi ilmu pengetahuan agama kepada umat dalam rangka pembentukan akhlakul karimah.
Hal senada diungkapkan oleh Rais Aam PBNU, Gus Mus "Barat bukan hanya menjajah rakyat Indonesia saja tapi juga menginjak-injak sistem pendidikan kita. Belanda itu memisahkan ilmu menjadi dua, ilmu umum dan ilmu agama,".
Masih menurut Gus Mus, Pemisahan semacam ini kemudian diadopsi oleh pemerintah kita. "Ilmu umum mejadi sekolah-sekolah negeri, dan ilmu agama terdapat di madrasah dan pondok pesantren. Padahal Islam tak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum."
Oleh karena itu, untuk mewujudkan revolusi mental di semua lini, pemerintah diharapkan tidak memarjinalkan peran pesantren dalam gerakan merubah Indonesia. Dengan demikian, jika pemerintah bersikap adil dan lebih bijak, pesantren bisa menjadi wadah agen of change di Indonesia. Semoga pesantren tidak hanya menjadi pendorong lokomotif, tapi menjadi lokomotif itu sendiri.
Penempaan jiwa dan raga dalam pesantren diharapkan menumbuhkan jiwa mandiri bagi santri. Sebab mandiri merupakan modal penting bagi santri untuk terjun dalam masyarakat dan tidak tergiur oleh iming-iming jabatan formal atau intervensi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Selain itu santri harus menjadi suri tauladan bagi masyarakat dan berkeinginan kokoh untuk berbagi ilmu pengetahuan agama kepada umat dalam rangka pembentukan akhlakul karimah.
Tampaknya
Jokowi perlu merangkul pesantren untuk mewujudkan jargon “Revolusi Mental”nya.
Selain memiliki peran terbentuknya NKRI, pesantren juga berperan dalam
pembentukan karakter masyarakat di sekitarnya. Pada hakikatnya pembentukan
karakter, perubahan mental, rekonstruksi paradigma, pendidikan akhlakul karimah
atau apa saja namanya haruslah dimulai sejak dini. Proses perubahan dimulai
dari akar untuk menyembuhkan kembali pohon yang sedang sakit. Sebab untuk
mengobati pohon yang terjangkit penyakit kronis alias mendarah daging adalah
dengan menyembuhkan akarnya.
Dengan
adanya santri dan pesantren yang tersebar luas di berbagai tempat seluruh
Nusantara menjadi poin of position yang strategis untuk memulai pergerakan
masive revolusi mental dengan santri sebagai agen utamanya. Bukankah wali songo
merupakan agen of change paling
progresif dan masive dalam merubah tanah jawa yang sebelumnya didominasi
kepercayaan kapitayan dan Hindu-Budha menjadi peradaban yang lebih humanis dan
ber-akhlakul karimah? Bukan tidak mungkin, jika santri menjadi titisan wali
songo untuk merubah kembali peradaban manusia dalam bingkai “revolusi mental”
ala Jokowi, untuk menjadikan manusia yang benar-benar ber-akhlakul karimah.
Patut di coba! (Disarikan dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment