Update

Indonesia Ber-Akhlakul Karimah

Saturday 22 November 2014



http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2014/06/revolusi-mentar-300x336.jpg
Ketika Jokowi terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, majalah ternama se-Asia TIME memuat wajah sang presiden ke-7 dengan kutipan “A New Hope” di bagian kiri cover. Banyak pihak menafsiri munculnya wajah Jokowi di majalah merupakan “Jokowi’s efect” yang selama ini merebak luas di luar Indonesia. Jokowi memang menjadi trending topic dalam beberapa bulan terakhir akibat sepak terjangnya yang terbilang sangat singkat dalam meraih singgasana kepresidenan Indonesia.

Kini rakyat sudah menetapkan Jokowi menjadi Presiden pasca era-SBY selama dua periode. Masih mengutip “A New Hope” dari majalah Time, terpilihnya Jokowi bisa jadi sebuah harapan bangsa Indonesia untuk memperbaiki keterpurukan Indonesia. Dengan semboyan “Revolusi Mental” yang diusung, dia mencoba untuk merubah karakter masyarakat menjadi lebih humanis.

Lebih dari itu, merubah model Birokrasi pemerintah beserta mental pelakunya merupakan tujuan pokok guna mengembalikan kepercayaan rakyat yang selama ini hilang. Kasus korupsi, suap-menyuap, pencucian uang, skandal asusila, kekerasan atas nama agama dan sebagainya menjadi bingkai foto besar Indonesia. Kini tantangan besar ada di tangan Jokowi, permasalahan semacam itu harus segera diberantas untuk menyejahterakan kehidupan rakyat dan memanusiakan manusia. Mungkinkah jargon “Revolusi Mental” bisa menjadi senjata ampuh atau hanya sebatas kata?

Pesantren dan Akhlakul Karimah

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang genuin dan tertua di Indonesia. Eksistensinya tidak perlu diragukan lagi, melalui berbagai zaman dan model dinamikanya, pesantren masih tetap survive hingga sekarang. Menurut sejarah usia pondok pesantren telah mencapai 300-400 tahun yang lalu dan Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi sebagai pendiri awal pesantren di jawa pada tahun 1399 M.

Pesantren adalah peninggalan para leluhur, salah satunya wali songo. Mereka berbaur di tengah masyarakat Nusantara dan berdakwah melalui metode akulturasi, mengapresiasi tradisi, dan kearifan lokal, serta memberikan keteladanan dengan berpegang pada al-Quran, Hadis, dan kitab kuning. Dengan kata lain Indonesia ber-akhlakul karimah dirintis dan dimulai oleh para Auliya’ tanah jawa atau wali songo.

Hal ini senada dengan dukungan dari Agus Sunyoto, penulis buku Sejarah Walisongo. Menurutnya, kini pesantren tidak lagi menjadi lokomotif perubahan sosial-politik, tapi menjadi sekadar pendorong lokomotif. karena itu, penting bagi pesantren untuk kembali kepada masa Walisongo, yang bukan hanya sekedar mengajarkan fiqh, tetapi juga politik, filsafat, dan tata negara.

Nilai kepesantrenan yang sebenarnya adalah membangun kesucian dan keindahan secara nyata dalam kehidupan. Tidak sekadar membangun kata, tetapi juga membangun tindakan yang konkret sehingga terjalin keharmonisan dalam tindakan dan kehidupan sehari-hari.

Pembentukan akhlakul karimah dalam metode pembelajaran di pesantren dipandang memiliki efektivitas tinggi dalam proses penempaan karakter seseorang. Ada 4 nilai pesantren dalam proses pembelajaran yang integral yaitu: metode belajar-mengajar (dirasah wa ta’lim), pembiasaan berprilaku luhur (ta’dib), aktivitas spiritual (riyadhah), serta teladan yang baik (uswah hasanah) yang diperaktikkan langsung oleh kiai/nyai dan para ustadz.

Semua dinamika dalam pesantren tersebut mendukung pembentukan karakter. Dengan kata lain penanaman nilai-nilai akhlakul karimah menjadi efektif dengan pengawasan 24 jam penuh. Santri sebagai civitas pesantren dituntut untuk hidup mandiri dan menjaga tingkah laku. Mulai dari mencuci baju sendiri, mengatur jadwal kegiatan, memanage keuangan untuk jajan hingga belajar dan memahami pelajaran.

Para kiai/nyai selalu menanamkan doktrin kepada para santri sebagai calon pemimpin dan agen perubahan di masa depan, sehingga didalam diri santri tertanam kuat kesadaran untuk mempersiapkan diri menjalankan peran di tengah masyarakat. Kepemimpinan yang dimaksud disini bukan dalam jabatan formal melainkan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya, mereka memandu dan mencerahkan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.

Menanam pohon untuk bisa tumbuh besar perlu penguatan dan pemupukan di sektor akar. Seperti itu peran pesantren sebagai basis atau akar dalam pertumbuhan pohon besar berwujud Indonesia. Tanpa pesantren, Indonesia belum tentu dapat terbentuk seperti sekarang ini, meski ada tokoh besar seperti Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi tanpa dukungan dari tingkat basis yang dipelopori para kiai pesantren, kemerdekaan tidak akan mungkin bisa tercapai.

Santri Sebagai Agen of Change

Sebenarnya, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama melainkan juga ilmu umum. Pemisahan ilmu agama dan umum pertama kali dikaburkan oleh kolinialis Barat. Mereka mencoba memisahkan antara agama dan ilmu umum, padahal Islam tidak pernah membedakan antara keduanya

Hal senada diungkapkan oleh Rais Aam PBNU, Gus Mus "Barat bukan hanya menjajah rakyat Indonesia saja tapi juga menginjak-injak sistem pendidikan kita. Belanda itu memisahkan ilmu menjadi dua, ilmu umum dan ilmu agama,".

Masih menurut Gus Mus, Pemisahan semacam ini kemudian diadopsi oleh pemerintah kita. "Ilmu umum mejadi sekolah-sekolah negeri, dan ilmu agama terdapat di madrasah dan pondok pesantren. Padahal Islam tak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum."

Oleh karena itu, untuk mewujudkan revolusi mental di semua lini, pemerintah diharapkan tidak memarjinalkan peran pesantren dalam gerakan merubah Indonesia. Dengan demikian, jika pemerintah bersikap adil dan lebih bijak, pesantren bisa menjadi wadah agen of change di Indonesia. Semoga pesantren tidak hanya menjadi pendorong lokomotif, tapi menjadi lokomotif itu sendiri.

Penempaan jiwa dan raga dalam pesantren diharapkan menumbuhkan jiwa mandiri bagi santri. Sebab mandiri merupakan modal penting bagi santri untuk terjun dalam masyarakat dan tidak tergiur oleh iming-iming jabatan formal atau intervensi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Selain itu santri harus menjadi suri tauladan bagi masyarakat dan berkeinginan kokoh untuk berbagi ilmu pengetahuan agama kepada umat dalam rangka pembentukan akhlakul karimah.

Tampaknya Jokowi perlu merangkul pesantren untuk mewujudkan jargon “Revolusi Mental”nya. Selain memiliki peran terbentuknya NKRI, pesantren juga berperan dalam pembentukan karakter masyarakat di sekitarnya. Pada hakikatnya pembentukan karakter, perubahan mental, rekonstruksi paradigma, pendidikan akhlakul karimah atau apa saja namanya haruslah dimulai sejak dini. Proses perubahan dimulai dari akar untuk menyembuhkan kembali pohon yang sedang sakit. Sebab untuk mengobati pohon yang terjangkit penyakit kronis alias mendarah daging adalah dengan menyembuhkan akarnya.

Dengan adanya santri dan pesantren yang tersebar luas di berbagai tempat seluruh Nusantara menjadi poin of position yang strategis untuk memulai pergerakan masive revolusi mental dengan santri sebagai agen utamanya. Bukankah wali songo merupakan agen of change  paling progresif dan masive dalam merubah tanah jawa yang sebelumnya didominasi kepercayaan kapitayan dan Hindu-Budha menjadi peradaban yang lebih humanis dan ber-akhlakul karimah? Bukan tidak mungkin, jika santri menjadi titisan wali songo untuk merubah kembali peradaban manusia dalam bingkai “revolusi mental” ala Jokowi, untuk menjadikan manusia yang benar-benar ber-akhlakul karimah. Patut di coba! (Disarikan dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment

 

Most Reading

Sidebar One