Update

Maaf, Saya Mengumpat (Lagi)*

Sunday 12 April 2015


Beberapa hari yang lalu saya sempat membaca koran Jawa Pos edisi 02 April 2015 dalam rubrik opini. Tulisan itu berjudul “Maaf, Saya Mengumpat”. Menurut si penulis, sejatinya kata-kata yang kita anggap jorok atau terkesan kasar seperti bangsatbajingan tidak memiliki konotasi negatif pada awalnya. Namun seiring perkembangan zaman kata-kata itu mengalami pelebaran dan menjadi ungkapan populer untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap sesuatu.

Bangsat dalam terminologi jawa adalah hewan Tinggi (binatang yang menghisap darah) yang sering kali berdomisili di kasur atau kursi-kursi kayu yang lembab, biasanya sering ditemukan di kursi warung makan. Hewan kecil dan bau ini sering kali menghisap darah tanpa pangestu dari si-empunya. Biasanya, bangsat akan meninggalkan kesan berupa benjolan besar pada area tubuh yang berhasil dihisapnya. Mungkin sikapnya yang kurang ajar, sering menghisap darah seperti vampir, tanpa izin, sehingga dijuluki bangsat. Entahlah!

Diksi masyarakat modern dalam menyortir kata untuk kemudian ditransformasikan menjadi ungkapan kecewa adalah kecerdasan yang perlu diapresiasi. Entah siapa yang memulainya tapi ungkapan itu sesuai dengan interpretasi kata asal dan kemudian ditujukan untuk para cecunguk di zaman ini. Jika disyarhkan lebih lantang, bangsat bisa ditakrif menjadi manusia penghisap darah rakyat. Lebih biadab dari vampir penghisap darah “saja”, menurut saya.

Keberdayaan masyarakat jelata dalam melawan tirani pemerintah amat cekak. Terbukti ketika konstelasi politik dan sosial yang semakin kucar-kacir, masyarakat jelata hanya menjadi penonton. Padahal yang dipertaruhkan adalah nasib kehidupan mereka. Sebut saja kisruh antara Gubernur DKI Jakarta dan DPRD Jakarta, rapat ala taman kanak-kanak para Dewan Perwakilan Rakyat, korupsi dan lain sebagainya. Mestinya para wakil rakyat memperjuangkan mati-matian ketika bicara soal rakyat, bukan malah tidur saat sidang soal rakyat.

Mengutip pesan Kiai Chudori kepada Gus Dur muda dalam suatu pengajian Tafsir Maroghi di Pesantren Tegalrejo. “Santri-santri, anak-anakku semua. Sehebat apa pun laku wirid yang kalian lakoni, tanpa diiringi uswah atau teladan kepada umat, semua menjadi sia-sia. Kalian sebaiknya mengerti bahwa uswah yang terbaik adalah bukan semata-mata ingin ditiru, melainkan sikap aktif terhadap pembelaan masyarakat yang lemah dan tertindas. Itulah tarekat para nabi. Tak perlu takut untuk membela orang-orang tertindas. Bahkan, untuk membela orang-orang tertindas itu, kalian harus rela mengorbankan harga diri, nama baik kehormatan, dan bila perlu nyawa kalian sendiri yang menjadi taruhannya.” Ah, andai saja para wakil rakyat bangsat itu ada yang ikut pengajian ini, mungkin saja mereka tidak menjadi bangsat.

Bajingan, paritas ungkapan yang sama untuk ekspresi kekecewaan memiliki arti yang lebih unik. Masih menurut si-penulis (red-opini) diatas adalah julukan seorang rider gerobak sapi. Zaman dahulu jika masyarakat ingin berpergian, transportasi gerobak sapi adalah kendaraan yang ekonomis dan paling suitable. Mereka sering menunggu dipinggir jalan untuk ikut nunut gerobak sapi untuk sampai tujuan. Sekali waktu gerobak yang ditunggu tak kunjung datang dan masyarakat berujar “sepertinya bajingan tidak datang.”

Jika dikaji secara seksama, celetukan masyarakat atas bajingan menyimpan rasa gegetun. Menunggu kedatangan bajingan dan nyatanya dia tidak muncul pastilah kecewa, jika sudah demikian, masyarakat terpaksa harus berjalan kaki untuk sampai di tujuan.

Bagiku, diksi bajingan sebagai ungkapan kecewa bukan hanya sekedar clometan semata, tapi memiliki filosofi yang tidak melenceng dari asalnya. Lagi-lagi saya acungkan dua jempol bagi “Tokoh” yang pertama kali mentrasnformasikan terma bajingan ke dalam dunia keseharian. Jika bajingan diartikan penunggang gerobak sapi, saya lebih suka mengartikan bajingan sebagai Penunggang Gerobak Rakyat (otoriter/red-karepe dewe). Andai saja ada pagelaran Oscar Diksi, mungkin bangsat dan bajingan berhasil menyabet piala dalam kategori expression of disappointment. Ah!

Penah tulisan bangsat dan bajingan ini saya update di facebook dengan tambah makna sesuai versi saya sendiri. Salah seorang teman saya nimbrung komentar, “Dancuk berasal dari bahasa arab Da’ Su’Da’ (tinggalkanlah) dan Su’ (ing perkoro olo).” Aku tersenyum membaca komentarnya, mungkin saja temanku ini benar, sebab ada sebuah hadis yang mengatakan Da’ maa yaribuk ilaa maa laa yaribuk (Tinggalkanlah yang meragukanmu menuju yang tidak meragukanmu). Dalam matan Hadisnya mengatakan “Tinggalkanlah yang meragukanmu menuju yang tidak meragukanmu, karena sesungguhnya kebenaran itu memenangkan dan sesungguhnya kebohongan itu meragukan.”

Sambil tertawa, aku balas di kolom komentar dibawahnya “Haha, berarti dancuk itu ucapan yang mulia donk mas?”. Sambil terkekeh dia menjawab, iya, bila diucapkan dengan tajwid dan makhorijul huruf yang benar, ha... haa..

Terminologi arab, Da’ memang berarti tinggalkanlah dan Su’ bermakna perkara buruk. jika dibalut menjadi satu menimbulkan interpretasi Tinggalkanlah perkara buruk! Kata Jancok, Dancok atau disingkat menjadi Cok adalah sebuah kata yang menjadi ciri khas komunitas di Jawa Timur, terutama Surabaya dan sekitarnya. Normalnya ungkapan itu digunakan sebagai umpatan pada saat emosi meledak, marah atau membenci. Namun kata Jancok juga menjadi simbol keakraban dan persahabatan khas di kalangan sebagaian arek-arek Suroboyo. Menurut Kamus Daring Universitas Gadjah Mada, istilah jancuk memiliki makna “sialan keparat, brengsek atau digunakan untuk ekspresi keheranan atas sesuatu yang luar biasa.”

Bangsat, Bajingan dan Jancok adalah beberapa corak masyarakat dalam memanifestasikan rasa kecewa, frustasi, putus asa atas kenyataan yang bagi mereka jauh dari kata adil dan makmur. Korupsi, suap, penggelapan pajak adalah sebagian potret kebusukan oknum pemerintahan yang bersikap layaknya bangsat dan bajingan. Mengutip Gus Mus “Terkadang para koruptor berlagak menyuap Tuhan dengan menyisihkan sebagian harta korupsinya untuk sedekah, menyantuni anak yatim, Umroh bahkan Haji. Mereka berharap untuk mensucikan harta korup dengan teori pemutihan yang sungguh naif.

Mungkin juga para Bajingan dan Bangsat itu tidak pernah ikut pengajian Ushul Fiqh saat sekolah dulu. Sebuah kaidah mengatakan Maa Haruma Akhdzuh Haruma I’tha’uh (sesuatu yang haram diterima, diharamkan pula untuk diberikan). Ah, lagi-lagi aku harus memelintir kepala untuk mengerti kebodohan yang dilakukan para bandit itu. Sudahlah, mereka masih anak-anak.

*Tulisan ini pernah saya kirim ke Jawa Pos pada hari Rabu, 08 April 2015 tapi tidak dimuat. 


No comments:

Post a Comment

 

Most Reading

Sidebar One