Update

Masjid Basis Pergerakan dan Upaya Menjemput Kebahagian*

Saturday 19 September 2015


Banyak hal yang bisa dilakukan saat bulan penuh berkah tiba. Seperti yang digagas oleh kawan-kawan seperjuangan di organisasi ekstra kampus berbasis keislaman. Kami ingin nuansa berbeda dari Ramadan sebelumnya. Jika biasanya kami menghabiskan sebagian besar waktu untuk menjadi mustami’ dari pengajian di pesantren, duduk manis sambil menggenggam senjata pamungkas, pena dan kitab. Jika bosan menggoda, ngusilin teman yang menahan kantuk akut sampai terombang-ambing adalah agenda yang mengasyikkan. Atau bersorak ria karena joke dari para ustadz. Mentok kalau bosan sudah di ujung umbun-umbun, tidur di tempat adalah pilihan yang telak.

Pesantren menjadi kawah candradimuka dalam hidup kami. Di sana kami dididik untuk menjadi insan swasembada dan swapraja namun tetap kordial, santun, supel, dermawan, murah hati, berani dst. Bukan sembarang kawah yang mampu menciptakan manusia setengah dewa seperti pesantren. Babad nusantara dan historiografi yang ditulis oleh historikus membuktikan bahwa hanya pesantren yang becus melahirkan ulama dan umara’ yang adil dan kaya akan wisdom dalam jiwanya. Sehingga takaran antara soul keilmuan (‘ilm) dan spiritual (addin) tampil seimbang. Tentu kita tak gebyuk uya roto. Artinya tak semua yang belajar di pesantren sukses menjadi setengah dewa, atau separuh malaikat.

Paling minim kami sadar bahwa tak selamanya teori setakar dengan kenyatan. Terjun langsung di lapangkan adalah praktik yang mesti dilalui untuk menguji daya survive kami. Sekaligus penerapan teori yang selama ini kami dapat. Pada dasarnya pesantren adalah miniatur kecil dari Indonesia. Disana kami berkumpul dan bercengkrama dengan kawan dari berbagai daerah, suku dan ras. Meski demikian, kehidupan di pesantren tak sama dengan kehidupan masyarakat.

Ya sudah kita adakan safari ramadan yang terbingkai dalam bakti sosial. Agendanya mencakup bidang keagamaan dan pendidikan.” Celetuk salah seorang teman.
Sebagai insan yang berbasis pesantren, biasanya kami menyasar mushalla atau masjid sebagai basis pergerakan dan syiar. Karena pada hakikatnya, masjid dijadikan sebagai sentra segala kegiatan baik yang bersifat keagamaan atau tidak. Hal ini juga dicontohkan oleh Hadratur Rasul selama memimpin sahabat-sahabatnya. Mulai dari thalabul ‘ilmi, musyawarah, menyusun strategi dakwah, menyiasati taktik perang, bahkan griya Rasul ada di dalam masjid.

Saya jadi teringat cerita salah seorang guru saya ketika praktikum di KUA. Di daerah Jawa Tengah, saya lupa tepatnya di kabupaten mana. Ada sebuah masjid unik dan kreatif. Masjid yang biasanya hanya untuk tempat salat dan mengaji disulap menjadi public hall. Seluruh kegiatan kemasyarakatan dilaksanakan di lingkungan masjid. Lebih hebatnya lagi hampir seluruh penduduk aktif berjamaah lima waktu di masjid tersebut. Bahkan shalat subuh serupa shalat jumat, hampir seratus jamaah yang hadir.

Telisik punya telisik ada taktik unik yang diterapkan ta’mir masjid. Di dalam ruangan takmir terdapat peta besar yang membentang di dinding. Kotak-kotak persegi dengan tatanan yang sedikit kurang teratur menghiasi permukaan peta. Setiap kotak memiliki identitas berwarna hijau, kuning dan merah.

Kotak-kotak itu adalah denah desa dan rumah masyarakat sekitar. Warna hijau artinya intensitas masyarakat dalam berjamaah shalat lima waktu sudah bagus. Warna kuning artinya jarang dan merah pertanda hampir tidak pernah. Semua peta tersusun sistematis dan taktis. Seperti sebuah denah taktik perang yang coba memahami medan. Bagi mereka mengajak shalat seperti menyusun strategi perang. Kita butuh peta kekuasaan untuk tahu dimana saja letak kedaulatan, dan teritorial yang perlu ditaklukkan. Mereka seperti panglima perang dengan zirah kebesarannya: koko-sarung dan peci.

Meski perang tanpa pedang bukan berarti usang. Ketika shalat lima waktu ditunaikan. Ada hal yang mengganjal pandangan. Setiap jamaah yang masuk masjid membubuhkan tanda tangan di atas  lembaran kertas, semacam attendance list. Ada apa sebenarnya dengan kertas itu. Kenapa shalat harus menuliskan tanda tangan, kayak santri aja (di pondok saya dulu setiap shalat ada draff kehadiran yang harus diisi dengan tanda tangan).

Beda ladang beda belalang. Jika di pondok dulu tanda tangan shalat adalah entitas santri yang dipersentasekan sebagai syarat kenaikan kelas, di masjid ini tidak. Setiap tanda tangan anggota masyarakat yang mencapai persentasi minimum dalam kurun waktu tertentu akan memperoleh “angpao” dari takmir masjid. Bayangkan saja, dari ide semacam ini masyarakat menjadi sangat rajin dan berlomba-lomba berjamaah di masjid. Mengutip adigium ratu eksis, “sesuatu yah!”

Metode imbalan sedemikian rupa pernah diterapkan oleh pemerintah di Kota Bengkulu. Kegiatan ini merupakan program religius Kota Bengkulu yang diluncurkan oleh Sang Wali Kota, Helmi Hasan. Imbalannya tidak sepele, mobil, naik haji dan umrah gratis didapuk sebagai konsekuensi logis bagi para masyarakat yang rajin berjamaah. Bahkan anggaran sebesar 20 Miliar disiapkan dalam APBD Kota Bengkulu untuk program religius itu. Hadiah akan diberikan dengan ketentuan bahwa warga yang datang pertama pada shalat berjamaah di masjid sebanyak 40 kali berturut-turut tanpa tertinggal takbiratul ihram.

Meski menuai kontroversi, pemberian hadiah hanya dijadikan sebagai stimulus untuk masyarakat agar mencintai masjid dan menunaikan shalat jamaah. Tentu niatnya tetap lillahi ta’ala bukan lilmobil avanza.

Jika masyarakat islam diserang mati-matian oleh pihak lain dengan berbagai cara, tentunya seribu satu macam metode perlu kita wujudkan sebagai tindakan preventif selama tidak melanggar frame syariah.

Ada sebuah ilustrasi menarik dalam kisah ini “kisah seorang pemuda yang mendengar sayembara, ‘siapa yang rajin beribadah akan dinikahkan dengan putri pak kyai, maka si pemuda ini kemudian menjadi rajin beribadah untuk memenangkan sayembara itu. namun ketika terpilih untuk dinikahkan dengan putri tersebut, ia justru menolak dan mengatakan, ‘saya mohon maaf tidak bisa menikahi putri pak kyai. Awalnya niat saya memang untuk itu, tapi seiring saya rajin beribadah dari waktu ke waktu, tumbuhlah kesadaran dalam diri saya bahwa ibadah mestilah hanya untuk Allah semata, bukan untuk yang lain.’ Sang kyai menjawab: ‘justru karena itu, engkau harus menikahi putriku. Karena aku akan menikahkannya dengan mereka yang ikhlas dalam beribadah.”

Pada dasarnya, sayembara semacam ini bukanlah hal yang pertama terjadi. Rasul sendiri mengadakan sayembara ketika hendak menikahkan putrinya, Fatimah az-Zahra. “Barang siapa yang paling cepat mengkhatamkan al-Quran di hari ini maka dia berhak mempersunting anakku.” Berlombalah para sahabat. Siapa sih yang menolak menikah dengan putri dari insan paling mulia di alam jagad? Tentu semua lelaki mendambakan. Tapi pemenang tetaplah satu orang. Dialah Ali bin Abi Thalib, lelaki yang sangat beruntung.

Di desa yang kami tempati ada sekitar 8 mushalla dan satu masjid. Setiap malam ba’da maghrib kami bersiap eksekusi jadwal untuk menjadi imam tarawih dan bilal di setiap mushalla. Ternyata menjadi imam tak se-remeh yang kami bayangkan. Suasana baru yang membuat kami meneteskan keringat dingin di sekujur badan. Detak jantung berdegup kencang dan tangan mulai gemetar tak karuan. Bukan karena merinding atau dingin tapi fear factor yang menjadi kendala. Maklum bagi kami menjadi imam tarawih di lingkungan baru menjadi shock therapy yang musti dilewati. Apapun alasannya, santri harus berani menghadapi tekanan dan cobaan. Seorang pepatah mengatakan, “pelaut yang handal tak dihasilkan dari laut yang tenang.”

Berangkat dari pepatah itu, kami merambah dunia Taman Pendidikan Quran (TPQ). Selain masjid yang menjadi basis dakwah, TPQ adalah salah satu zona religi yang potensial. Dari sana kami bisa merebut hati masyarakat melalui anak-anak mereka yang kami didik tentang keagamaan. Mulai dari praktek shalat yang benar, cara berwudhu yang tepat, doa-doa dan hukum-hukum seputar kegiatan sehari-hari.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Peserta pengajian kilat (begitu kami menyebutnya) membludak mencapai 150 anak. Kami yang beranggota 15 orang merasa sangat kelabakan bercampur haru. Kami tak pernah menyangka kalau program ini diminati banyak masyarakat. Bahkan salah seorang masyarakat request agar diagendakan lomba ngaji dan biaya ditanggung sepenuhnya.

Beberapa masyarakat di mushalla setempat pun mengeluh-eluhkan agar mushalla mereka selalu diramaikan dengan kehadiran kami. Mungkin saja kehadiran kami begitu didambakan ketika rutinitas dan peran dilakukan oleh orang yang sama sepanjang waktu. Apalagi kami masih bujang, godaan para ibu-ibu yang menawarkan anaknya adalah sensasi tersendiri bagi kami. Eitt.. jangan salah paham ya, menawarkan itu artinya mereka sudi menikahkan anaknya dengan kami.

Ada hal yang lumrah dan kaprah terjadi di beberapa tempat masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat tampil sangat maksimal dalam mengeksplorasi pemuda-pemuda luar daerah yang berdatangan untuk maksud sosial-keagamaan. Namun perhatian itu tak senasib dengan putra daerah yang ada di sekitar mereka. Malahan mereka cenderung dikesampingkan dari peran-peran sosial-keagamaan di masyarakat. Jangan heran ketika hampir sebagian besar kegiatan di masyarakat dilaksanakan oleh kaum-kaum lansia dan semi-lansia. Mulai dari takmir masjid, khutbah jumat, bilal jumat, muadzin dlsb. Mestinya memberdayakan kaum enom adalah investasi jangka panjang yang jitu. Mungkin saja rumput tetangga lebih nikmat dari rumput sendiri, kayaknya begitu.

Kami merasa sangat bahagia di sini. Beberapa perangkat desa menawarkan program jangka panjang berkelanjutan. Mereka secara pribadi menawarkan agar nantinya setelah baksos usai agar dibentuk semacam pelatihan yang dilaksanakan setiap minggu. Boleh dalam bentuk apa saja selama hal itu baik dan benar.

Oh iya ada satu hal yang sulit kami lupakan dari kegiatan ini, yaitu senyum anak-anak. Entah mengapa setiap kami menularkan ilmu yang kami dapat di pesantren ada kepuasan yang tidak bisa dijelaskan dengan untaian kata. Senyum, canda tawa dan bahagia mereka menjadi obat pelipur lelah yang sangat mujarab. Kami masih rindu dengan kalian tapi rindu tetaplah rindu, ibarat tangan yang ingin memeluk gunung tapi apalah daya tak sampai. Semoga apa yang kami berikan mampu menjadi pendorong bagi kalian menjadi anak yang dapat dibanggakan. Amiin. Wallahu ‘alam bis showab.

*Oleh: Muhammad Septian Pribadi. Tulisan ini pernah disertakan dalam kontes menulis cerita Ramadhan bersama Emir tahun 2015 dan memperoleh nominasi sebagai pemenang hiburan.


No comments:

Post a Comment

 

Most Reading

Sidebar One