Banyak hal yang
bisa dilakukan saat bulan penuh berkah tiba. Seperti yang digagas oleh
kawan-kawan seperjuangan di organisasi ekstra kampus berbasis keislaman. Kami
ingin nuansa berbeda dari Ramadan sebelumnya. Jika biasanya kami menghabiskan
sebagian besar waktu untuk menjadi mustami’ dari pengajian di pesantren,
duduk manis sambil menggenggam senjata pamungkas, pena dan kitab. Jika bosan
menggoda, ngusilin teman yang menahan kantuk akut sampai
terombang-ambing adalah agenda yang mengasyikkan. Atau bersorak ria karena joke
dari para ustadz. Mentok kalau bosan sudah di ujung umbun-umbun, tidur di
tempat adalah pilihan yang telak.
Pesantren menjadi
kawah candradimuka dalam hidup kami. Di sana kami dididik untuk menjadi insan
swasembada dan swapraja namun tetap kordial, santun, supel, dermawan, murah
hati, berani dst. Bukan sembarang kawah yang mampu menciptakan manusia setengah
dewa seperti pesantren. Babad nusantara dan historiografi yang ditulis oleh
historikus membuktikan bahwa hanya pesantren yang becus melahirkan ulama dan umara’
yang adil dan kaya akan wisdom dalam jiwanya. Sehingga takaran antara soul
keilmuan (‘ilm) dan spiritual (addin) tampil seimbang. Tentu kita tak gebyuk
uya roto. Artinya tak semua yang belajar di pesantren sukses menjadi
setengah dewa, atau separuh malaikat.
Paling minim kami
sadar bahwa tak selamanya teori setakar dengan kenyatan. Terjun langsung di
lapangkan adalah praktik yang mesti dilalui untuk menguji daya survive
kami. Sekaligus penerapan teori yang selama ini kami dapat. Pada dasarnya
pesantren adalah miniatur kecil dari Indonesia. Disana kami berkumpul dan
bercengkrama dengan kawan dari berbagai daerah, suku dan ras. Meski demikian,
kehidupan di pesantren tak sama dengan kehidupan masyarakat.
“Ya sudah kita adakan safari ramadan yang terbingkai
dalam bakti sosial. Agendanya mencakup bidang keagamaan dan pendidikan.” Celetuk salah seorang teman.
Sebagai insan yang
berbasis pesantren, biasanya kami menyasar mushalla atau masjid sebagai basis
pergerakan dan syiar. Karena pada hakikatnya, masjid dijadikan sebagai sentra
segala kegiatan baik yang bersifat keagamaan atau tidak. Hal ini juga
dicontohkan oleh Hadratur Rasul selama memimpin sahabat-sahabatnya. Mulai dari thalabul
‘ilmi, musyawarah, menyusun strategi dakwah, menyiasati taktik perang,
bahkan griya Rasul ada di dalam masjid.
Saya jadi teringat
cerita salah seorang guru saya ketika praktikum di KUA. Di daerah Jawa Tengah,
saya lupa tepatnya di kabupaten mana. Ada sebuah masjid unik dan kreatif.
Masjid yang biasanya hanya untuk tempat salat dan mengaji disulap menjadi public
hall. Seluruh kegiatan kemasyarakatan dilaksanakan di lingkungan masjid.
Lebih hebatnya lagi hampir seluruh penduduk aktif berjamaah lima waktu di
masjid tersebut. Bahkan shalat subuh serupa shalat jumat, hampir seratus jamaah
yang hadir.
Telisik punya
telisik ada taktik unik yang diterapkan ta’mir masjid. Di dalam ruangan takmir
terdapat peta besar yang membentang di dinding. Kotak-kotak persegi dengan
tatanan yang sedikit kurang teratur menghiasi permukaan peta. Setiap kotak
memiliki identitas berwarna hijau, kuning dan merah.
Kotak-kotak itu
adalah denah desa dan rumah masyarakat sekitar. Warna hijau artinya intensitas
masyarakat dalam berjamaah shalat lima waktu sudah bagus. Warna kuning artinya
jarang dan merah pertanda hampir tidak pernah. Semua peta tersusun sistematis
dan taktis. Seperti sebuah denah taktik perang yang coba memahami medan. Bagi
mereka mengajak shalat seperti menyusun strategi perang. Kita butuh peta
kekuasaan untuk tahu dimana saja letak kedaulatan, dan teritorial yang perlu
ditaklukkan. Mereka seperti panglima perang dengan zirah kebesarannya: koko-sarung
dan peci.
Meski perang tanpa
pedang bukan berarti usang. Ketika shalat lima waktu ditunaikan. Ada hal yang
mengganjal pandangan. Setiap jamaah yang masuk masjid membubuhkan tanda tangan
di atas lembaran kertas, semacam attendance
list. Ada apa sebenarnya dengan kertas itu. Kenapa shalat harus menuliskan
tanda tangan, kayak santri aja (di pondok saya dulu setiap shalat ada draff
kehadiran yang harus diisi dengan tanda tangan).
Beda ladang beda
belalang. Jika di pondok dulu tanda tangan shalat adalah entitas santri yang
dipersentasekan sebagai syarat kenaikan kelas, di masjid ini tidak. Setiap
tanda tangan anggota masyarakat yang mencapai persentasi minimum dalam kurun
waktu tertentu akan memperoleh “angpao” dari takmir masjid. Bayangkan saja,
dari ide semacam ini masyarakat menjadi sangat rajin dan berlomba-lomba
berjamaah di masjid. Mengutip adigium ratu eksis, “sesuatu yah!”
Metode imbalan
sedemikian rupa pernah diterapkan oleh pemerintah di Kota Bengkulu. Kegiatan
ini merupakan program religius Kota Bengkulu yang diluncurkan oleh Sang Wali
Kota, Helmi Hasan. Imbalannya tidak sepele, mobil, naik haji dan umrah gratis didapuk
sebagai konsekuensi logis bagi para masyarakat yang rajin berjamaah. Bahkan
anggaran sebesar 20 Miliar disiapkan dalam APBD Kota Bengkulu untuk program
religius itu.
Hadiah akan diberikan dengan ketentuan bahwa warga yang datang pertama pada
shalat berjamaah di masjid sebanyak 40 kali berturut-turut tanpa tertinggal takbiratul
ihram.
Meski menuai
kontroversi, pemberian hadiah hanya dijadikan sebagai stimulus untuk masyarakat
agar mencintai masjid dan menunaikan shalat jamaah. Tentu niatnya tetap lillahi
ta’ala bukan lilmobil avanza.
Jika masyarakat
islam diserang mati-matian oleh pihak lain dengan berbagai cara, tentunya seribu satu
macam metode perlu kita wujudkan sebagai tindakan preventif selama tidak melanggar frame syariah.
Ada sebuah
ilustrasi menarik dalam kisah ini “kisah seorang pemuda yang mendengar
sayembara, ‘siapa yang rajin beribadah akan dinikahkan dengan putri pak kyai,
maka si pemuda ini kemudian menjadi rajin beribadah untuk memenangkan sayembara
itu. namun ketika terpilih untuk dinikahkan dengan putri tersebut, ia justru
menolak dan mengatakan, ‘saya mohon maaf tidak bisa menikahi putri pak kyai.
Awalnya niat saya memang untuk itu, tapi seiring saya rajin beribadah dari
waktu ke waktu, tumbuhlah kesadaran dalam diri saya bahwa ibadah mestilah hanya
untuk Allah semata, bukan untuk yang lain.’ Sang kyai menjawab: ‘justru karena
itu, engkau harus menikahi putriku. Karena aku akan menikahkannya dengan mereka
yang ikhlas dalam beribadah.”
Pada dasarnya,
sayembara semacam ini bukanlah hal yang pertama terjadi. Rasul sendiri
mengadakan sayembara ketika hendak menikahkan putrinya, Fatimah az-Zahra.
“Barang siapa yang paling cepat mengkhatamkan al-Quran di hari ini maka dia
berhak mempersunting anakku.” Berlombalah para sahabat. Siapa sih yang menolak
menikah dengan putri dari insan paling mulia di alam jagad? Tentu semua lelaki mendambakan. Tapi
pemenang tetaplah satu orang. Dialah Ali bin Abi Thalib, lelaki yang sangat
beruntung.
Di desa yang kami
tempati ada sekitar 8 mushalla dan satu masjid. Setiap malam ba’da maghrib kami
bersiap eksekusi jadwal untuk menjadi imam tarawih dan bilal di setiap
mushalla. Ternyata menjadi imam tak se-remeh yang kami bayangkan. Suasana baru
yang membuat kami meneteskan keringat dingin di sekujur badan. Detak jantung
berdegup kencang dan tangan mulai gemetar tak karuan. Bukan karena merinding
atau dingin tapi fear factor yang menjadi kendala. Maklum bagi kami
menjadi imam tarawih di lingkungan baru menjadi shock therapy yang musti
dilewati. Apapun alasannya, santri harus berani menghadapi tekanan dan cobaan.
Seorang pepatah mengatakan, “pelaut yang handal tak dihasilkan dari laut yang
tenang.”
Berangkat dari
pepatah itu, kami merambah dunia Taman Pendidikan Quran (TPQ). Selain masjid
yang menjadi basis dakwah, TPQ adalah salah satu zona religi yang potensial.
Dari sana kami bisa merebut hati masyarakat melalui anak-anak mereka yang kami
didik tentang keagamaan. Mulai dari praktek shalat yang benar, cara berwudhu
yang tepat, doa-doa dan hukum-hukum seputar kegiatan sehari-hari.
Pucuk dicinta ulam
pun tiba. Peserta pengajian kilat (begitu kami menyebutnya) membludak
mencapai 150 anak. Kami yang beranggota 15 orang merasa sangat kelabakan bercampur haru. Kami tak
pernah menyangka kalau program ini diminati banyak masyarakat. Bahkan salah
seorang masyarakat request agar diagendakan lomba ngaji dan biaya
ditanggung sepenuhnya.
Beberapa masyarakat
di mushalla setempat pun mengeluh-eluhkan agar mushalla mereka selalu
diramaikan dengan kehadiran kami. Mungkin saja kehadiran kami begitu didambakan
ketika rutinitas dan peran dilakukan oleh orang yang sama sepanjang waktu.
Apalagi kami masih bujang, godaan para ibu-ibu yang menawarkan anaknya adalah
sensasi tersendiri bagi kami. Eitt.. jangan salah paham ya, menawarkan itu
artinya mereka sudi menikahkan anaknya dengan kami.
Ada hal yang lumrah
dan kaprah terjadi di beberapa tempat masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat
tampil sangat maksimal dalam mengeksplorasi pemuda-pemuda luar daerah yang
berdatangan untuk maksud sosial-keagamaan. Namun perhatian itu tak senasib
dengan putra daerah yang ada di sekitar mereka. Malahan mereka cenderung
dikesampingkan dari peran-peran sosial-keagamaan di masyarakat. Jangan heran
ketika hampir sebagian besar kegiatan di masyarakat dilaksanakan oleh kaum-kaum
lansia dan semi-lansia. Mulai dari takmir masjid, khutbah jumat, bilal jumat,
muadzin dlsb. Mestinya memberdayakan kaum enom adalah investasi jangka
panjang yang jitu. Mungkin saja rumput tetangga lebih nikmat dari rumput
sendiri, kayaknya begitu.
Kami merasa sangat
bahagia di sini. Beberapa perangkat desa menawarkan program jangka panjang
berkelanjutan. Mereka secara pribadi menawarkan agar nantinya setelah baksos usai agar dibentuk semacam
pelatihan yang dilaksanakan setiap minggu. Boleh dalam bentuk apa saja selama
hal itu baik dan benar.
Oh iya ada satu hal
yang sulit kami lupakan dari kegiatan ini, yaitu senyum anak-anak. Entah
mengapa setiap kami menularkan ilmu yang kami dapat di pesantren ada kepuasan
yang tidak bisa dijelaskan dengan
untaian kata. Senyum, canda tawa dan bahagia mereka
menjadi obat pelipur lelah yang sangat mujarab. Kami masih rindu dengan kalian
tapi rindu tetaplah rindu, ibarat tangan yang ingin memeluk gunung tapi apalah
daya tak sampai. Semoga apa yang kami berikan mampu menjadi pendorong bagi
kalian menjadi anak yang dapat dibanggakan. Amiin. Wallahu ‘alam bis showab.
*Oleh: Muhammad Septian Pribadi. Tulisan ini pernah disertakan dalam
kontes menulis cerita Ramadhan bersama Emir tahun 2015 dan memperoleh nominasi
sebagai pemenang hiburan.
No comments:
Post a Comment