Judul :
Resolusi Jihad
Penulis : Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarawan Tebuireng
Penerbit : Pustaka Tebuireng
Terbit : Agustus 2015
Tebal : 236 halaman
ISBN : 978-602-8805-36-0
Penulis : Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarawan Tebuireng
Penerbit : Pustaka Tebuireng
Terbit : Agustus 2015
Tebal : 236 halaman
ISBN : 978-602-8805-36-0
Masih
banyak kalangan meragukan peran signifikan pesantren dalam rangkaian Indonesia
meraih kemerdekaan. Bahkan ada sentimen penghapusan sejarah Indonesia dalam
sumbangsih pesantren. Beberapa tokoh juga menyangsikan peristiwa “Resolusi
Jihad”, fakta atau legenda?
Menjelang
perayaan perdana Hari Santri Nasional -22 Oktober- nanti, saatnya Indonesia
membuka mata, memahami sejarah dan menerima fakta.
Setelah
kemenangan sekutu atas Jepang yang menyerah tanpa syarat tanggal 14 Agustus
’45, selang beberapa hari kemudian, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan
secara de facto pada tanggal 17 Agustus ’45. Keesokan harinya, Indonesia
menetapkan Undang-Undang, Pemerintahan Indonesia dan Lembaga Legislatif untuk
kemerdekaan secara de jure.
Sesuai
dengan kesepakatan, Indonesia masih di bawah kekuasaan Jepang selama sekutu
belum di Indonesia. Kemudian infiltrasi dilakukan oleh sekutu sebagai upaya
sabotase kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan.
Penyerahan
kekuasaan Jepang kepada sekutu dilakukan oleh Komandan Asia Tenggara (South
East Asia Command – SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mounbatten.
Kemudian Inggris bersama AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang
tiba di Jakarta pada 16 September 1945 turut andil memperkeruh iklim
kemerdekaan.
Sekutu
ternyata punya maksud tersembunyi. Kedatangannya di Indonesia membawa pejabat
sipil Belanda (NICA) merupakan hasil kesepakatan antara Inggris dan Belanda
dalam perjanjian Civil Affairs Agreement (CAA) di Chequers, yang isinya
mengembalikan Indonesia di pangkuan Belanda.
Menyusul
kemudian pada tanggal 18 September 1945 pasukan sekutu yang dipimpin Laksamana
Patterson masuk di Surabaya. Sebelumnya pada tanggal 21 dan 23 Agustus 1945
sekutu sudah menyusup ke Surabaya dengan kedok Komite Internasional Palang
Merah (International Committee of the Red Cross-ICRC).
Kedok
ini dipahami rakyat Indonesia sebagai upaya musuh menjajah Indonesia kembali.
Konstelasi kolonialisme yang sarat muslihat ini memantik semangat
anti-penjajahan masyarakat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
Sementara
situasi semakin panas. Berita tentang kelicikan
sekutu dan Belanda direspon cepat dan menimbulkan pertempuran di sebagian besar
wilayah Indonesia. Termasuk di Surabaya,
saat kapal perang Inggris, Cumberland, mendarat di Surabaya segera disambut arek-arek
Surabaya dengan bentrokan fisik.
Melihat
situasi ini, Presiden Soekarno mengutus orang untuk menghadap kiai terkemuka di
Jawa Timur, yakni KH. Hasyim Asyari - Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng.
Presiden meminta fatwa kepada Kiai Hasyim (KH. Hasyim Asyari). “Apakah
Hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela
al-Quran. Sekali lagi membela tanah air?” (hal. 141).
Kiai
Hasyim memfatwakan secara substantif, bahwa kolonialisme wajib ditolak. Dalam
catatan sejarah pesantren, sejak berdirinya Kasultanan Demak, perjuangan
melawan penjajah Portugis yang dipimpin Adipati Unus, baik yang ada di Malaka,
Ambun, maupun Sunda Kelapa, mendapat dukungan dari kalangan pesantren. Bahkan
perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Diponegoro
tidak digerakkan dari kerajaan tetapi dari Pesantren Tegal Rejo.
KH.
Hasyim Asyari berinisiatif menyelenggarakan rapat konsul-konsul NU se-Jawa dan
Madura untuk mengeluarkan fatwa tentang perjuangan bangsa melawan penjajah. Rapat
kemudian dilaksanakan pada 22-23 Oktober 1945 Kantor
Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya, yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.
Rapat yang didahului oleh amanat Kiai Hasyim ini kemudian melahirkan satu
keputusan dalam bentuk resolusi. Setelah mengalami tukar silang pendapat dalam
musyawarah, resolusi itu diberi nama “Resolusi Jihad”. Resolusi jihad sejatinya
meminta ketegasan pemerintah Indonesia untuk segera mendeklarasikan perang suci
atau perang jihad. (hal. 143)
Saifudin
Zuhri dalam kesaksiannya, bahwa sebelum rapat yang dihadiri oleh seluruh konsul
NU pada tanggal 22-23 Oktober didahului oleh penjelasan KH. Hasyim Asyari
tentang kewajiban mempertahankan republik adalah kewajiban agama bagi semua
orang Islam (Fardhu ain). Fatwa ini kemudian dimuat di Kedaulatan
Rakjat, Yogyakarta, 26 Oktober 1945 tertulis “Toentoetan Nahdlatoel
Oelama Kepada Pemerintah Repoeblik Soepaja Mengambil Tindakan jang Sepadan
Resoloesi”.
Fatwa
Resolusi Jihad yang menurut Nur Cholis Madjid ditulis dalam huruf pegon ini
mendapat tanggapan positif di hadapan musyawarah ulama dengan pemerintah.
Kegiatan itu kemudian terdokumentasi dalam Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta,
20 Nopember 1945, “Alim Oelama Menentoekan Hoekoem Perdjoeangan”. (Hal.
147)
Buku yang terbilang langkah ini sedikit monoton ketika dibaca
karena disajikan dengan penyampain data dan data. Sehingga nuansa narasi masih
kurang. Buku setebal 236 ini kaya akan rujukan dan sanad yang komprehensif
dan representatif. Sehingga penting bagi anda yang butuh referensi dan bukti
tentang sejarah signifikan peran pesantren. Masih ragu? Silahkan buktikan
sendiri!
*MSP
*MSP
No comments:
Post a Comment