Update

Detik-Detik Resolusi Jihad Meletus*

Saturday 14 November 2015

Judul       : Resolusi Jihad
Penulis    : Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarawan Tebuireng
Penerbit  : Pustaka Tebuireng
Terbit      : Agustus 2015
Tebal       : 236 halaman
ISBN         : 978-602-8805-36-0


Masih banyak kalangan meragukan peran signifikan pesantren dalam rangkaian Indonesia meraih kemerdekaan. Bahkan ada sentimen penghapusan sejarah Indonesia dalam sumbangsih pesantren. Beberapa tokoh juga menyangsikan peristiwa “Resolusi Jihad”, fakta atau legenda?

Menjelang perayaan perdana Hari Santri Nasional -22 Oktober- nanti, saatnya Indonesia membuka mata, memahami sejarah dan menerima fakta.

Setelah kemenangan sekutu atas Jepang yang menyerah tanpa syarat tanggal 14 Agustus ’45, selang beberapa hari kemudian, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan secara de facto pada tanggal 17 Agustus ’45. Keesokan harinya, Indonesia menetapkan Undang-Undang, Pemerintahan Indonesia dan Lembaga Legislatif untuk kemerdekaan secara de jure.

Sesuai dengan kesepakatan, Indonesia masih di bawah kekuasaan Jepang selama sekutu belum di Indonesia. Kemudian infiltrasi dilakukan oleh sekutu sebagai upaya sabotase kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan.


Penyerahan kekuasaan Jepang kepada sekutu dilakukan oleh Komandan Asia Tenggara (South East Asia Command – SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mounbatten. Kemudian Inggris bersama AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang tiba di Jakarta pada 16 September 1945 turut andil memperkeruh iklim kemerdekaan.

Sekutu ternyata punya maksud tersembunyi. Kedatangannya di Indonesia membawa pejabat sipil Belanda (NICA) merupakan hasil kesepakatan antara Inggris dan Belanda dalam perjanjian Civil Affairs Agreement (CAA) di Chequers, yang isinya mengembalikan Indonesia di pangkuan Belanda.

Menyusul kemudian pada tanggal 18 September 1945 pasukan sekutu yang dipimpin Laksamana Patterson masuk di Surabaya. Sebelumnya pada tanggal 21 dan 23 Agustus 1945 sekutu sudah menyusup ke Surabaya dengan kedok Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross-ICRC).

Kedok ini dipahami rakyat Indonesia sebagai upaya musuh menjajah Indonesia kembali. Konstelasi kolonialisme yang sarat muslihat ini memantik semangat anti-penjajahan masyarakat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Sementara situasi semakin panas. Berita tentang kelicikan sekutu dan Belanda direspon cepat dan menimbulkan pertempuran di sebagian besar wilayah Indonesia. Termasuk di Surabaya, saat kapal perang Inggris, Cumberland, mendarat di Surabaya segera disambut arek-arek Surabaya dengan bentrokan fisik.

Melihat situasi ini, Presiden Soekarno mengutus orang untuk menghadap kiai terkemuka di Jawa Timur, yakni KH. Hasyim Asyari - Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng. Presiden meminta fatwa kepada Kiai Hasyim (KH. Hasyim Asyari). “Apakah Hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela al-Quran. Sekali lagi membela tanah air?” (hal. 141).

Kiai Hasyim memfatwakan secara substantif, bahwa kolonialisme wajib ditolak. Dalam catatan sejarah pesantren, sejak berdirinya Kasultanan Demak, perjuangan melawan penjajah Portugis yang dipimpin Adipati Unus, baik yang ada di Malaka, Ambun, maupun Sunda Kelapa, mendapat dukungan dari kalangan pesantren. Bahkan perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Diponegoro tidak digerakkan dari kerajaan tetapi dari Pesantren Tegal Rejo.

KH. Hasyim Asyari berinisiatif menyelenggarakan rapat konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura untuk mengeluarkan fatwa tentang perjuangan bangsa melawan penjajah. Rapat kemudian dilaksanakan pada 22-23 Oktober 1945 Kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya, yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Rapat yang didahului oleh amanat Kiai Hasyim ini kemudian melahirkan satu keputusan dalam bentuk resolusi. Setelah mengalami tukar silang pendapat dalam musyawarah, resolusi itu diberi nama “Resolusi Jihad”. Resolusi jihad sejatinya meminta ketegasan pemerintah Indonesia untuk segera mendeklarasikan perang suci atau perang jihad. (hal. 143)

Saifudin Zuhri dalam kesaksiannya, bahwa sebelum rapat yang dihadiri oleh seluruh konsul NU pada tanggal 22-23 Oktober didahului oleh penjelasan KH. Hasyim Asyari tentang kewajiban mempertahankan republik adalah kewajiban agama bagi semua orang Islam (Fardhu ain). Fatwa ini kemudian dimuat di Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta, 26 Oktober 1945 tertulis “Toentoetan Nahdlatoel Oelama Kepada Pemerintah Repoeblik Soepaja Mengambil Tindakan jang Sepadan Resoloesi”.

Fatwa Resolusi Jihad yang menurut Nur Cholis Madjid ditulis dalam huruf pegon ini mendapat tanggapan positif di hadapan musyawarah ulama dengan pemerintah. Kegiatan itu kemudian terdokumentasi dalam Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta, 20 Nopember 1945, “Alim Oelama Menentoekan Hoekoem Perdjoeangan”. (Hal. 147)



Buku yang terbilang langkah ini sedikit monoton ketika dibaca karena disajikan dengan penyampain data dan data. Sehingga nuansa narasi masih kurang. Buku setebal 236 ini kaya akan rujukan dan sanad yang komprehensif dan representatif. Sehingga penting bagi anda yang butuh referensi dan bukti tentang sejarah signifikan peran pesantren. Masih ragu? Silahkan buktikan sendiri!

*MSP

No comments:

Post a Comment

 

Most Reading

Sidebar One