Update

“Valentine” Ala Wali Sanga*

Saturday 14 February 2015

Islam bukan agama kaku dan keras. Islam bukan agama yang terlampau lentur nan fleksibel. Islam itu juga bukan tayangan sinetron atau drama. Mengutip dari Cak Nun, Islam itu substansi nilai, juga metodologi. Ia bisa memiliki kesamaan atau perjumpaan dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik yang berasal dari “agama” lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah tradisi. Namun sebagai sebuah keseluruhan entitas, Islam hanya sama dengan Islam.

Sejarah babat Jawa yang kental dengan corak tradisi mistis, animisme dan dinamisme menjadi artefak yang tertuang dalam literasi sejarah nusantara. Term yang mengandung berbagai macam hiruk-pikuk kehidupan dan mengandung berbagai macam kebiasaan individu, tata nilai, prilaku, etika dan sebagainya selanjutnya disebut sebagai tradisi.

Tradisi sama dengan adat istiadat, konsep serta aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya di suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam bidang sosial kebudayaan itu (Koentaraningrat: 1984: 187 ). Oleh sebab itu segala kegiatan yang memiliki integritas kuat dalam sebuah sistem budaya dan menata tindakan manusia dalam kehidupan dapat diartikan budaya, seperti Valentine.

Valentine atau orang sering menyebutnya “Hari Kasih Sayang” yang dibungkus dalam pemberian berupa coklat pada lawan jenis sebagai ungkapan kasih sayang memiliki sejarah yang simpang siur. Satu kepastian dari valentine adalah jatuh pada tanggal 14 Februari. Hal ini sudah jamak diketahui khalayak umum lebih-lebih para pemuda yang sedang dirundung cinta pastilah menanti hari kasih sayang ini.

Berbagai macam pernak-pernik penyambutan dilakukan oleh masyarakat dalam memandang valentine itu sendiri, yang merayakan banyak, pun yang melarang juga tak sedikit. Sehingga menjelang tanggal “sakral” 14 Februari berbagai golongan meramaikan perdebatan tentang valentine. Dan yang paling mainstream tentu fatwa haram bagi kaum muslim untuk turut serta merayakan hari kasih sayang yang konon berasal dari budaya barat.

Melihat hal semacam itu tak ubahnya sebuah perdebatan yang melelahkan, seperti halnya pro-kontra dalam pengucapan hari natal oleh pemeluk islam pada umat kristiani. Melihat fakta yang sedemikian rupa dan menumbuhkan berbagai statement tanpa praktik yang menjanjikan perlulah sebuah trobosan aksi nyata yang sesuai adagium ilmu kedokteran “mencegah lebih baik daripada mengobati”.

Pada tataran praksis, diktum-diktum pemuka agama tentang pelarangan ranah partispatif valentine memang pencegahan yang benar harus dilakukan. Namun diskursus pencegahan berupa fatwa ini apakah memberikan efektifitas dalam tataran kehidupan nyata? Ataukah diktum ini kemudian hanya sebatas aksi normatif dan akan terus diulang-ulang setiap tanggal 14 Februari yang kadang terkesan bernada melecehkan dan kurang pantas dilakukan oleh kaum terdidik Islam? Jangan sampai pencegahan ini pada hakikatnya menjadi pengobatan yang dilakukan rutin setiap tahun sekali.

Sejenak kita perlu melakukan telaah regresif tentang Jawa. Masyarakat Jawa pada zaman dahulu akrab dengan ajaran mistis, tata susila, basu krama, soba sita, sesajen, slametan, klenik dan sebagainya. Singkat kata kental dengan tradisi Kejawen. Tentu merubah budaya lokal yang sedemikian kental bukan perkara muda bagi pahlawan Islam tanah jawa, atau Wali Sanga sering kita menyebutnya, untuk merubah keadaan yang sedemikian rupa. Tapi nyatanya perkiraan sulit itu terjungkal menjadi kenyataan seperti keadaan yang kita alami sekarang ini. Islam-Jawa yang menjunjung tinggi kearifan lokal.

Langkah yang dipilih untuk menciptakan immortality Islam-Jawa yang berlangsung sekian ratus tahun bukan dengan cara pelarangan secara mentah-mentahan atau kekerasan apalagi peperangan dengan menghancurkan budaya setempat dan diganti dengan kebudayaan baru. Melainkan dengan sikap adaptif para Wali Sanga yang membiarkan tradisi yang telah mengakar kuat, seraya melakukan langkah-langkah infiltrasi ajaran dan pandangan Islam.

Di Jawa, Islam lebih lentur dan lebih kontekstual, menekankan pada aspek pikir dan spiritual meski bungkusnya berupa kebudayaan setempat. Sebut saja Sunan Bonang melalui Gending Dharmanya yang menyihir masyarakat Jawa dengan doktrin yang disisipkan melalui permainan gending yang menawan. Sunan Bonang berusaha menggeser kepercayaan hari-hari na’as dan dewa-dewa dengan mengenalkan nama malaikat dan nabi-nabi. Selain itu Sunan Bonang menyisipkan wejangan-wejangan ajaran Islam bernama Wijil dan beliau juga mencipta kidung Tombo Ati.

Hal selaras juga dilakukan oleh Sunan yang lain, seperti Sunan Giri atau Raden Paku yang mencipta Gending Asmarandana, Jitungan, Delikan, Jalungan, Lir-Ilir, dan Cublek-cublek Suweng. Kemudian Sunan Kudus membuat Gending Mijil dan Maskumambang, membuat dongeng tauhid berseri dll. Sunan Derajat Gending Pungkur dan Seni Suluk. Sunan Muria membuat tembang Sinom dan Kinanti.

Kearifan lokal yang diterapkan oleh para wali ini mengundang simpati masyarakat jawa yang amat menghormati kepercayaan lama. Seperti yang diterapkan oleh Raden Syahid yang menggubah Wayang Purwo (Sebelumnya Wayang Golek berbentuk boneka), membuat kesenian Kentrung, tembang Dandang Gula dan masih banyak yang lainya. Disamping melalui kesenian yang menghibur dan berbasis kebiasaan masyarakat para Wali Sanga menyulap adat-adat yang menyimpang untuk diluruskan dengan santun. Tidak melarang akan tetapi ditunjukkan cara yang lebih baik.

Seperti dalam kebiasaan sesaji untuk upacara kematian, bayen, manten, pindah rumah, selamatan pertanian, slametan nelayan diganti sedekah. Meminta pada arwah diganti dengan do’a minta keselamatan pada Allah SWT. Inilah yang kemudian disebut sebagai “Local Wisdom”. Tampilan lahir akan menyesuaikan dengan tingkat pemahaman agama dan keyakinan yang dipeluk. Nilai eseoteris yang menancap di batin inilah yang akan menjadi organ vital selaku pembentuk tradisi.

Pada dasarnya Valentine tak ubahnya seperti Sesaji Slamatan. Sesaji yang ditujukan untuk menyenangkan. Biasanya sesajen ini dilakukan untuk membuka lahan baru sebagai laku hormat untuk mencegah musibah. Sesaji keselamatan ini dihaturkan utamanya pada Indra, Danyang Desa, Punden dan yang diyakini bisa membantu. Alasan-alasan sajen ini kita analogikan dengan Valentine, dimana sepasang muda-mudi memberikan coklat untuk diberikan pada pasanganya dengan harapan hubungan mereka akan langgeng dan lancar. Yang mungkin dilanjutkan dengan berpacaran dan bermesraan untuk semakin mengikat rasa cinta yang terjalin antara pria dan wanita.

Jika dipersonifikasikan tradisi seperti Valentine yang mengakar pada masyarakat Indonesia sekarang adalah pesawat. Bagi mereka pesawat yang ditumpangi adalah keyakinan bahwa dengan pesawat ini akan menghantarkan mereka pada kebahagian dunia. Mereka tak peduli dengan keadaan pesawat, entah perangkat dan kerangka pesawat sudah tua atau aus, entah tujuannya kemana yang jelas mereka yakin. Dalam kondisi seperti ini tentunya mereka tidak akan menoleh jika ditawari pesawat baru, melarang mereka untuk tidak berpartisipasi dalam valentine akan hanya menjadi peringatan normatif yang tidak perlu dipatuhi. Maka, langkah efektifnya adalah dengan merubah lajur kemudi dan lintasanya.

Jika valentine identik dengan coklat dan cinta maka kita arahkan saja coklat itu untuk kegiatan kirim doa pada Allah melalui acara selametan dan coklat sebagai hidangan utamanya. Kemudian diisi Tour ziarah makam dengan hadiah bingkisan coklat unik bagi siapa saja yang bersedia ikut. Atau acara tebak-jawab seputar pengetahuan Islam bagi anak-anak dengan coklat berbentuk unik sebagai hadiah bagi pemenangnya. Atau bisa juga karnaval coklat dengan arak-arakan yang diiringi salawatan bersama sebagai wujud cinta pada Rasulnya dan diakhiri dengan mauidoh hasanah tentang perlunya merubah tradisi melalui inovasi. Menarik bukan? Paling tidak kita sudah mencoba mendidik kearah yang lebih baik. Imam al-Ghozali mengatakan; “jika seseorang yang dididik tidak mau meninggalkan prilaku rendah sama sekali atau tidak mau mengganti sifat rendah dengan sifat baik yang berlawanan, maka sebaiknya memindahnya dari prilaku tercela pada prilaku tercela lain yang lebih ringan.” (Disarikan dari berbagai sumber)


*Dari Muhammad Septian Pribadi, 14 Februari 2015. Selamat Merayakan “Hari Valentine”.

No comments:

Post a Comment

 

Most Reading

Sidebar One